Semarang, Idola 92.6 FM – Belakangan ini, penggunaan buzzer atau pendengung sebagai juru propaganda di media sosial semakin marak. Kehadiran buzzer dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan, agar suaranya didengar masyarakat. Mulai dari perusahaan hingga pejabat publik, memanfaatkan buzzer.
Hal ini mengonfirmasi hasil penelitian Universitas Oxford bahwa Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber atau yang lebih dikenal dengan “buzzer” untuk kepentingan politik, hingga bisnis.
Hanya saja, pemanfaatan buzzer oleh Pemerintah, menuai pro-kontra. Di Indonesia, sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah disebut menggunakan jasa buzzer. Mereka bekerja melalui akun-akun anonim dengan jumlah pengikut yang besar. Selain dianggap sebagai pemborosan anggaran, eksistensi buzzer juga dinilai dapat merusak nilai-nilai demokrasi. Kebebasan berpendapat bisa terancam, masyarakat menjadi sulit membedakan informasi yang benar dan propaganda, di samping menyebabkan polarisasi semakin tajam.
Bukankah ini berarti bahwa keberadaan buzzer menunjukkan adanya ‘intensi’ untuk merekayasa kebenaran sehingga semakin menjauhkan ‘public awareness’ dari realitas yang sesungguhnya? Apakah masalah buzzer ini juga yang membuat masyarakat tidak bisa membedakan: antara ‘narasi’ yang berarti hasil olahan dengan fakta yang sesungguhnya?
Lalu, bagaimana mengatur hal ini? Bagaimana cara melindungi hak publik atas informasi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Luthfi Makhasin, PhD (Pengamat Politik/ Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto) dan Dr Suko Widodo (Pengamat komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: