Semarang, Idola 92.6 FM – Ketegangan dagang global kembali mencuat setelah Amerika Serikat menerapkan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Namun, pada 9 April 2025, tiba-tiba Presiden Donald Trump mengumumkan akan menunda pemberlakuan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari. Penundaan ini tidak berlaku untuk China yang mereka anggap menantang kebijakan AS.

Merujuk data yang dikeluarkan Gedung Putih, Rabu lalu (11/25), persentase tarif timbal balik untuk semua negara diturunkan ke angka 10%, terhitung per 5 April 2025. Bersamaan dengan pemberlakuan prosentase terbaru ini dalam 90 hari ke depan, Amerika Serikat akan bernegosiasi dengan berbagai negara.

Penundaan dan penurunan tarif sementara ke angka 10% ini tak berlaku untuk China. Trump justru menaikkan tarif resiprokal untuk China dari 34% ke 125%. Alasannya, karena sikap “tidak hormat” pemerintah China yang membalas kebijakan Trump dengan menaikkan tarif hingga 84% pada komoditas AS yang masuk ke Tiongkok.

Lalu, membaca sinyal ditundanya penerapan tarif resiprokal 3 bulan ke depan; apakah ini menunjukkan bahwa Trump lebih suka berunding secara bilateral, dan enggan melalui multilateral? Bagaimana Indonesia dalam menyikapi hal ini? Apa maknanya bagi Indonesia dan bagaimana kita bisa memanfaatkan jeda tersebut?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, nanti kami akan berdiskusi dengan narasumber Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Mohammad Dian Revindo. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: