Semarang, Idola 92.6 FM – Inflasi rendah yang saat ini terjadi tidak mencerminkan efisiensi tapi hanya menunjukkan lemahnya permintaan domestik. Sehingga, kalau kondisi ini terus dibiarkan, dikawatirkan kita sedang berada di ambang krisis stagnasi menuju stagflasi tahap awal.
Beberapa Pengamat Ekonomi memberikan warning bahwa Ekonomi kita sedang terjebak dalam lingkaran stagnasi. Hal itu ditandai dengan upah rendah yang memicu konsumsi lemah. Konsumsi lemah yang memicu investasi terhambat dan lapangan kerja tidak tercipta.
Tingginya angka PHK dan dominasi sektor informal—selain masalah gas LPG akhir-akhir ini semakin memperlihatkan gambaran besarnya.
Dominasi sektor informal (pedagang kecil & pekerja lepas) menunjukkan kualitas lapangan kerja yang rendah, upah yang tidak pasti, dan produktivitas terbatas. Hal ini tentu saja memperburuk ketimpangan dan mengurangi basis pajak pemerintah.
Kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran atau korupsi di distribusi menyebabkan kelangkaan yang semakin meningkatkan biaya hidup riil masyarakat miskin karena terpaksa harus membeli LPG non-subsidi.
Sebuah keadaan yang kontradiktif dengan inflasi rendah secara agregat. Inflasi rendah seharusnya memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga. Namun, tekanan nilai tukar (akibat suku bunga AS yang tinggi) dan risiko capital outflow membatasi ruang gerak. BI terjepit di antara menjaga stabilitas makro atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu, benarkah perekonomian kita sedang terjebak dalam lingkaran stagnasi? Kemudian, bagaimana jalan keluarnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, nanti kami akan berdiskusi dengan narasumber: Prof Rahma Gafmi (Ekonom/ Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya) dan M Rizal Taufikurahman (Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: