Penampakan hakim Arif Nuryanta tersangka suap Rp 60 miliar pakai kaus saat ditangkap Kejaksaan Agung. (Dok Kejaksaan Agung)

Semarang, Idola 92.6 FM – Dunia peradilan kembali tercoreng. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Rp60 miliar terkait pengkondisian perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga korporasi. Hakim yang seharusnya menjadi benteng terakhir masyarakat dalam mencari keadilan, justru terjerat hokum, menambah daftar panjang integritas peradilan yang dipertanyakan.

Pada Sabtu (12/4/2025) malam, Arif digiring keluar dari gedung pemeriksaan Kejaksaan Agung dengan rompi pink khas tahanan. Tatapannya datar, kepala tertunduk tanpa sepatah kata pun menjawab pertanyaan awak media.

Selain Arif, tiga tersangka lain turut ditetapkan: Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG) Kuasa Hukum Korporasi, Marcella Santoso (MS), dan Advokat berinisial Ariyanto (AR). Keempatnya langsung ditahan selama 20 hari untuk keperluan pemeriksaan. Arif diduga menerima Rp 60 miliar melalui WG, orang kepercayaannya untuk memanipulasi putusan agar tiga korporasi dinyatakan tidak bersalah.

Hakim, yang kerap dijuluki โ€œwakil Tuhan di muka bumiโ€ karena kuasa putusannya, semestinya menjadi harapan terakhir masyarakat untuk menegakkan keadilan. Namun, kasus seperti ini menunjukkan kerapuhan system. Arif bukanlah kasus pertama. Maraknya hakim yang terjerat suap menggambarkan betapa godaan materi dapat menggerus integritas mereka yang seharusnya menjadi pilar moral.

Celakanya, kasus seperti ini tak hanya terjadi sesekali melainkan berkali-kali, lagi, dan lagi, tanpa menunjukkan adanya kemungkinan untuk berhenti. Maka, masyarakat pun bertanya-tanya, jika hakim yang dipercaya menegakkan hukum justru melanggarnya, lalu ke mana lagi masyarakat harus berpaling? Terlebih lagi, kasus ini bukan sekadar pelanggaran individu tetapi juga cerminan sistemik yang tak kunjung dapat diperbaiki. Pengawasan internal peradilan, independensi hakim, hingga kesejahteraan mereka menjadi sorotan. Apakah karena adanya tekanan eksternal atau lemahnya integritas pribadi yang membuat benteng keadilan ini runtuh?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Hibnu Nugroho (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto/Tergabung juga dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi) dan Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)).ย (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: