Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa waktu belakangan ini, rumor mengenai wacana amendemen UUD 1945 kembali menyeruak ke permukaan. Bukan tanpa sebab, wacana untuk mengubah sistem Pemilihan Presiden dari Langsung menjadi tidak langsung bergulir begitu saja. Hal itu dipicu pernyataan sekaligus safari kebangsaan yang dilakukan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo beserta jajarannya terhadap tokoh politik, ketua parpol, hingga tokoh bangsa. Agendanya, menyerap aspirasi dan pandangan mereka. Hasil safari itu nantinya akan digunakan sebagai bahan rekomendasi MPR 2019-2024 kepada MPR 2024-2029. Seluruh masukan itu juga nantinya akan diteruskan kepada fraksi parpol yang ada di MPR serta kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Meski demikian dalam sebuah kesempatan, Bambang Soesatyo menyatakan, sebagai rumor sudah nyata dibahas secara personal tetapi secara resmi rumor itu ditepisnya. Menurutnya, wacana amendemen konstitusi masih menunggu persetujuan dari semua unsur pimpinan partai politik yang memiliki fraksi di parlemen.
Diketahui, amendemen UUD 1945 sudah berlangsung sebanyak empat kali. Pertama, saat Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999, kedua, pada Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, ketiga, pada Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001, dan keempat, pada Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002. Semuanya terjadi saat Amien Rais menjabat Ketua MPR.
Lalu, secara empiris, apa saja plus-minusnya pemilihan presiden secara langsung? Kenapa UUD mengamanahkan pemilihan langsung? Apa persisnya “keuntungan” yang ingin kita peroleh seandainya pemilihan presiden kembali dilakukan MPR?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Dhia Al Uyun (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang), Dr. Cecep Hidayat (Analis/Pengamat/Dosen Politik UI dan Executive Director ISR (Indonesian Strategic Research)), dan Habiburokhman (Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari fraksi partai Gerindra). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: