Semarang, Idola 92.6 FM – Menikah menjadi babak penting dalam perjalanan hidup manusia. Namun, menikah memiliki konsekuensi tanggung jawab pada kebahagiaan keluarga dan pengasuhan anak. Pergeseran gaya hidup modern dan beban ekonomi yang makin berat—turut memicu usia rata-rata pernikahan menua.
Hasil peliputan Tim Jurnalisme Data yang dimuat di harian Kompas pada 27-28 Oktober 2024 mengungkap, kian banyak warga Indonesia yang hidup melajang dan usia warga yang menikah semakin menua. Keputusan menunda menikah merupakan puncak gunung es dari persoalan ekonomi.
Beberapa alasan menunda menikah antara lain: mahalnya harga rumah, biaya pendidikan, pengasuhan anak, bahan pangan, ongkos transportasi, dan ancaman pemutusan hubungan kerja. Alasan lain adalah, semakin selektif dalam memilih pasangan, belum jadi prioritas, belum siap mental, dan nyaman hidup sendiri.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2012-2022 menunjukkan, proporsi penduduk lajang naik 5,4 persen. Warga lajang pada 2012 sebanyak 40,3 juta jiwa, atau 30,1 persen dari kelompok usia 15-49 tahun, dan pada tahun 2022 naik jadi 52,6 juta jiwa atau 35,5 persen.
Lalu, ketika usia warga yang menikah di Indonesia kian menua; apakah ini fenomena umum—yang memang selalu terjadi pasca era bonus demografi? Apakah kita perlu berupaya memperkecil proses penuaan pasangan yang akan menikah? Bagaimana persisnya langkah yang harus ditempuh?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Direktur Analisis Dampak Kependudukan, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN, Dr Faharuddin. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: