Sejumlah Pihak Kembali Melakukan Judicial Review ke MK terkait ”Presidential Threshold,” Apa pentingnya?

ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Sejumlah pihak kembali melakukan Judicial review atas ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold di Mahkamah Konstitusi (MK). Tak terkecuali bagi pegiat pemilu, Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini yang ikut mengajukan gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Menilik sejarah, tak ada satu pun dari 32 kali Judicial review ambang batas pencalonan presiden yang dikabulkan MK. Meski demikian, hal itu tak menyurutkan langkah mereka untuk kembali menguji aturan main di pemilihan presiden tersebut. Keduanya bahkan mengklaim memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon serta memiliki kebaruan argumentasi permohonan.

Berdasarkan catatan MK, dari 32 kali pengujian pasal dimaksud, sebanyak 24 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, 6 perkara ditolak, dan 2 perkara ditarik kembali. Padahal, penggugat berasal dari beragam latar belakang, mulai dari politikus, akademisi, masyarakat sipil, hingga partai politik peserta pemilihan umum.

Kebanyakan, perkara yang tidak dapat diterima itu karena terkendala pada kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Sementara perkara yang ditolak karena MK menilai ambang batas pencalonan presiden adalah kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang atau open legal policy.

Saat ini ada empat gugatan tentang ambang batas pencalonan presiden yang masih disidangkan oleh MK. Termasuk salah satunya, gugatan yang diajukan oleh Hadar dan Titi yang telah memasuki sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu kemarin. Gugatan mereka merupakan gugatan ke-36 terkait ambang batas pencalonan presiden yang disidangkan MK.

Jadi, apakah upaya judicial review ke MK terhadap Presidential Threshold kali ini akan berhasil? Apa pentingnya gugatan ambang batas presiden sehingga mesti dilakukan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News