Semarang, Idola 92,6 FM-Seorang pengusaha asal Grobogan yang memilki usaha konstruksi bangunan sipil lainnya, harus berhadapan dengan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwodadi.
Pengusaha berinisial SAP itu dijatuhi vonis hukuman penjara selama 2,6 tahun dan denda sebesar Rp1.663.194.820.
Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perpajakan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kabid Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan Kanwil DJP Jawa Tengah I Santoso Dwi Prasetyo mengatakan perkara bermula dari tindak pidana pajak yang dilakukan SAP melalui CV AJ, yang tidak melaporkan peredaran usaha dan tidak menerbitkan faktur pajak pada SPT Tahunan PPh Badan dan pada SPT Masa PPN. Hal itu disampaikan melalui siaran pers, kemarin.
Menurut Santoso, SAP tidak menerbitkan faktur pajak mulai masa pajak Januari 2019 sampai dengan Desember 2019 dan akibat ulahnya itu negara dirugikan Rp831.597.410.
Perbuatan SAP melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU KUP).
Santoso menjelaskan, sebenarnya terdakwa telah diberikan kesempatan untuk melunasi kerugian negara dan menghentikan proses penyidikan namun tidak dilakukan.
Majelis Hakim menyatakan, apabila terdakwa tidak membayar denda paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan yang memeroleh kekuatan hukum tetap maka jaksa akan melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila terdakwa tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda maka terdakwa dijatuhkan hukuman kurungan sebagai subsider denda selama enam bulan.
“Saat dilakukan penyidikan, terdakwa sebenarnya masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan sesuai pasal 44B UU KUP dengan melunasi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 UU KUP ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara. Namun terdakwa tidak menggunakan hak tersebut, sehingga perkara dilimpahkan ke pengadilan,” kata Santoso.
Lebih lanjut Santoso menjelaskan, bahwa dalam penegakan hukum DJP tetap mengutamakan penerapan restorative justice.
Proses penegakan hukum pajak sebenarnya lebih mengutamakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara, dibandingkan dengan pemidanaan seseorang.
“Penyidikan pidana pajak adalah bagian dari tindakan penegakan hukum di Direktorat Jenderal Pajak yang mana ini adalah upaya terakhir atau ultimum remedium,” jelasnya.
Santoso berharap ada efek jera bagi wajib pajak lain, sehingga tidak ada lagi pihak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (Bud)