Semarang, Idola 92.6 FM – Hasil studi para ilmuwan telah banyak menemukan bahwa rencana aksi iklim nasional—yang saat ini ada, masih belum cukup untuk membatasi kenaikan suhu global.
Laporan ilmiah terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) menunjukkan, emisi gas rumah kaca perlu dikurangi sebesar 43 persen—pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat emisi pada 2019. Hal ini penting untuk membatasi kenaikan suhu 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini dan menghindari dampak terburuk perubahan iklim.
Untuk itu, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau KTT COP28 di Dubai Uni Emirat Arab November 2023 lalu sepakat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil untuk mencegah dampak perubahan iklim. Perwakilan dari hampir 200 negara akhirnya menyepakati keputusan tersebut.
Selain itu, Maklumat Dubai juga menyerukan: “Meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat secara global dan menggandakan tingkat rata-rata tahunan peningkatan efisiensi energi secara global pada tahun 2030.”
Sebagai salah satu negara kepulauan yang paling terdampak perubahan iklim, Indonesia dinilai perlu mengawal kesepakatan ini guna mendorong perubahan transformatif dalam mempercepat aksi iklim.
Lalu, merefleksi Bidang Lingkungan dan Iklim tahun 2023; Apakah kesepakatan negara-negara dunia untuk mengatasi krisis iklim sekarang masih ‘on going’? Sudah sampai di mana persiapan Indonesia? Sejauh mana persiapan Indonesia untuk mengatasi krisis iklim? Lalu, bagaimana kesiapan kita dalam regulasi? Apa yang mesti disampaikan agar dapat menggugah kesadaran segenap lapisan masyarakat?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan Soegijapranata Catholic University dan Anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, Prof Budi Widianarko. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: