Semarang, Idola 92.6 FM – Dewan Pengawas KPK kembali menjatuhkan sanksi etik kepada Pimpinan KPK. Kali ini sanksi etik diberikan pada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Ia mendapat sanksi kategori sedang. Sanksi berupa teguran tertulis dan pemotongan gaji 20 persen selama 6 bulan itu dijatuhkan karena, menurut Dewas KPK, Ghufron terbukti telah menyalahgunakan pengaruh dalam mutasi pegawai Kementerian Pertanian.
Saat membacakan putusan, Jumat (06/09), anggota Dewas KPK Albertina Ho, mengatakan, Ghufron menghubungi Pelaksana Tugas Inspektorat Jenderal Kementan Kasdi Subagyono untuk memutasi Andi Dwi Mandasari.
Dalam catatan, sanksi terhadap Ghufron bukan yang pertama kali dijatuhkan oleh Dewas KPK. Pada 24 September 2020, Ketua KPK saat itu yakni Firli Bahuri juga dinyatakan melanggar etik dan mendapatkan sanksi ringan berupa teguran tertulis karena menunjukkan gaya hidup mewah.
Kemudian, sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 1 tahun juga pernah dijatuhkan Dewas KPK kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli pada 30 Agustus 2020. Kala itu, Lili dinyatakan terbukti berkomunikasi dengan mantan wali kota Tanjungbalai M Syahrial, yang tengah beperkara di KPK soal dugaan suap lelang jabatan.
Lalu, ketika pimpinan KPK kembali terbukti melanggar etik: apakah kasus ini menunjukkan adanya fenomena gunung es? Lalu, apa perbaikan mendasar yang mesti dilakukan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Zainal Arifin Mochtar. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: