Semarang, Idola 92,6 FM-Tuberkulosis Resisten Obat atau biasa disebut TBC RO, tidak boleh putus asa karena membayangkan “penyiksaan” pengobatan yang bakal dijalani.
Kini, dengan teknologi yang semakin maju maka pengobatan TBC RO bisa dilakukan hanya dalam waktu enam bulan.
Ketua Yayasan Semar (Semangat Membara Berantas Tuberkulosis) Jawa Tengah Diky Kurniawan mengatakan saat menjadi penyintas TBC RO pada 2014 lalu, dirinya harus menjalani pengobatan selama dua tahun. Hal itu dikatakan saat Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M) di Semarang, baru-baru ini.
Menurutnya, karena sudah kebal terhadap sejumlah obat TBC maka obat yang dikonsumsinya sekali minum mencapai 26 butir dan ditambah dengan obat suntik.
Diky menjelaskan, di era sekarang penderita TBC RO bisa mendapatkan pengobatan dengan jangka waktu lebih singkat hanya enam bulan dan obat yang diminum juga lebih sedikit hanya kisaran enam butir serta efeknya tidak membuat tidur.
Pengobatan tersebut memberi harapan baru bagi penderita TBC RO.
“Efek pengobatan yang dulu banyak, ada yang sampai gila, bahkan ada yang mau bunuh diri. Tapi sekarang tidak ada. Habis minum obat, bisa beraktivitas. Jadi jangan takut ketika divonis TBC RO. Meski sakit, tapi ada obatnya. Ini kemajuan baru, harapan baru pada penderita TBC RO,” kata Diky.
Associate Director Yayasan KNCV Indonesia dr Yeremia PM Runtu mengajak seluruh pihak, untuk melakukan sosialisasi pengobatan baru bagi penderita TBC RO.
Harapannya, TBC di masyarakat dapat dieliminasi atau dihilangkan.
Menurut Yeremia, pengobatan baru BPaL/M membuat penderita lebih nyaman karena durasinya hanya enam bulan dan 80-90 persen penderita TBC RO bisa diobati dengan cara tersebut.
Menurutnya, TBC RO dulu hanya ditemui pada penderita yang putus pengobatan karena ketidakpatuhan meminum obat atau pada pasien yang pernah dinyatakan sembuh tapi kemudian kambuh sehingga resisten atau kebal terhadap obat.
“Jadi orang yang punya kuman di dalam tubuhnya 3B, ya batuk, bersin, bicara ke orang yang sehat. Pilihannya antara dia sakit, atau kumannya bisa hilang sama sekali. Nah, kalau dia sakit, kumannya itu yang berkembang biak yang bermutasi tadi ya. Dan dia tidak bisa diobati dengan obat-obatan lini pertama, melainkan diobati dengan lini selanjutnya,” ujar Yeremia.
Lebih lanjut Yeremia menjelaskan, TBC bukan hanya isu kesehatan tapi juga isu sosial ekonomi. (Bud)