Pegiat Lingkungan dan Akademisi Ajak Anak Muda Menjadi “Pahlawan” melalui Aksi Nyata

Semarang, Idola 92.6 FM – Pegiat lingkungan dan akademisi ajak masyarakat khususnya generasi muda agar terlibat aktif sebagai pahlawan dalam aksi nyata. Ini sebagai wujud kepedulian manusia terhadap bumi—sebagai tempat yang ditinggali yang semakin menua. Upaya menjaga lingkungan juga mesti ditanamkan sejak dini dan dimulai dari komunitas terkecil masing-masing, mulai dari keluarga hingga masyarakat sekitar.

Demikian salah satu benang merah dalam diskusi Semarang Trending Topik bertema “The Heroes Among Us” (Pahlawan di Antara Kita) yang diselenggarakan radio Idola Semarang di Asmaradhana Ballroom Hotel Grandhika Jl Pemuda Semarang, Kamis (21/11). Sebagai narasumber dallam diskusi: Sururi (Ketua Kelompok Mangrove Lestari Mangunharjo Tugu Kota Semarang & Peraih Kalpataru 2024 Kategori Perintis Lingkungan), Ika Yudha Kurniasari (Penggagas Bank Sampah Resik Becik Kota Semarang), dan Prof HM Mukhsin Jamil (Guru Besa UIN Walisongo Semarang). Acara dipandu Nadia Ardiwinata (Penyiar Radio Idola Semarang).

Menurut Ika Yudha Kurniasari, di era saat ini, upaya penyadaran terhadap isu lingkungan mesti menyasar generasi muda. Karena masa depan bumi ada di tangan mereka juga kelak. Sebagai orang tua mesti menjadi teladan baik. Danm hal itu tak cukup, mesti juga membangun gerakan penyadaran lebih luas.

Untuk itu, di era media sosial sekarang ini, sesuai dengan situasi zaman, anak-anak muda diajak terlibat dalam penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan media sosial.

“Mari kita ajak anak-anak muda untuk menciptakan tren baru dalam aksi lingkungan!” ajak Ibu Ika yang seolah menantang anak-anak muda yang hadir di lokasi.

Beberapa tren yang bisa diciptakan itu, menurut Ibu Ika, antara lain: habiskan isi piringmu atau jangan sisakan makanan di piringmu, hingga gerakan memakai sapu tangan bukan tisu. Menurut Ika, gerakan jangan sisakan makanan di piring ini penting. Sebab, saat ini, Indonesia menjadi negara pembuang sampah makanan no 3 terbesar di dunia.

“Sebagai negara yang membuang sampah plastik terbesar di dunia kita kedua, dan untuk sampah makanan, kita nomor tiga,” ujar Ibu Ika dengan nada prihatin.

Sementara, gerakan memakai sapu tangan juga penting. Sebab, kebanyakan orang saat ini memakai tisu. Padahal, bahan baku tisu itu pohon. Semakin banyak tisu dipakai, semakin banyak pohon ditebang! “Siapapun bisa jadi pahlawan dengan melakukan gerakan ini. Ini upaya menyelamatkan bumi dengan gerakan sederhana,” tutur Ibu Ika.

Ika mengilustrasikan, belajar dari Film The Avengers. DI film itu, sosok hero atau pahlawan bagi bumi banyak. Ini artinya, kita sekarang butuh banyak pahlawan di lingkungan masing-masing. Semua orang mesti bergerak. “Namun, tantangan sekarang adalah bisa tidak kita mengajak banyak orang untuk peduli dan terlibat pada persoalan lingkungan?” tandasnya.

Ika merintis Bank Sampah Resik Becik (BSRB) Semarang sejak tahun 2011. Kegiatan saat merintis ia lakukan bersama beberapa ibu tetangganya dengan kegiatan kreasi manik-manik dan rajut. Hal itu kemudian berlanjut dengan mengelola sampah plastik dari rumah tangga seperti bungkus mi instan, kopi, plastik tepung, dan lain sebagainya. Dari sampah-sampah itu kemudian dibuat tas belanja, dan sebagainya. “Ini seperti jalan takdir bagi saya,” kata Ika

Saat ditanya inspirasinya dari mana? Ika bercerita, semua bermula dari buku. Ia terkenang, pada suatu waktu—saat suntuk, sebagai hiburan, ia jalan-jalan ke toko buku. Dan di situ ia menemukan sebuah buku yang baginya menarik. Judulnya, Kreasi Sampah.

“Saya healing paling suka ke toko buku. Nah, saya nemu buku judulnya Kreasi Sampah. Dari situ, kemudian saya belajar dan mempraktikannya bersama ibu-ibu di kampung Krobokan Semarang. Memanfaatkan sampah dari dapur sendiri. Dari buku, kemudian eksis hingga sekarang,” tandas Ibu Ika.

Sikap-sikap Kepahlawanan Mesti Diorkestrasi

Sementara itu, menurut Prof Mukhsin Jamil, sikap-sikap kepahlawanan di sekitar kita mesti diorkestrasi. Tanpa itu, kesadaran bahwa setiap individu dapat menjadi pahlawan sesuai kapasitas masing-masing akan memudar. Tanpa diorkestrasi, kita akan kesulitan mencari sosok-sosok yang peduli pada persoalan lingkungan.

Lalu, siapa yang mestinya mengorkestrasi sikap-sikap kepahlawanan? Menurut Prof Mukhsin, banyak yang dapat mengorkestrasi. Mulai dari organisasi sosial baik berbasis agama, ekonomi ataupun sosial. “Bisa juga simpul-simpul komunitas, paguyuban warga, PTN/PTS. Dan, utamanya sebenarnya pemerintah. Mereka memiliki tanggung jawab lebih untuk itu,” ujar Prof Mukhsin.

Prof Mukhsin mencontohkan, di lingkungan Rukun Warga (RW) tempat tinggalnya sudah muncul kesadaran tentang pentingnya kesadaran merespons perubahan iklim. Sehingga, saat ini, warga giat menggagas kampung pro iklim. “Dan, siapa yang menginisiasi itu? Jamaah ngaji di tempat saya. Artinya, semua elemen mestinya bisa mengorkestrasi. Kalau mau.” Ujarnya.

Mengenai sikap kepahlawan itu seperti apa? Menurut Prof Mukhsin, setidaknya memenuhi 3 kriteria. Yakni, the giving mindset, best creation, dan impactful. The giving mindset artinya pahlawan adalah orang yang selalu berpikir memberi. Ketika melakukan apapun, mindset-nya adalah memberikan yang terbaik. Best creation artinya, seorang pahlawan selalu berpikir memberikan karya yang terbaik untuk sekitarnya. Impactful artinya, perbuatan dari pahlawan adalah memberi dampak bagi orang lain, pada masyarakat, bangsa, dan negara.

“Belajar dari sosok Pak Sururi dan Ibu Ika. Sesungguhnya untuk menjadi pahlawan bukan dilihat dari siapa mereka. Atau apa jabatan dan kedudukan mereka. Tetapi, dari apa yang mereka berikan untuk lingkungan tanpa pamrih,” ujarnya.

Lalu, bagaimana cara mengembangkannya? Prof Mukhsin menjelaskan, dengan cara menanamkan sikap kepahlawanan sejak dini. Mulai dari hal-hal sederhana dan kecil sejak di keluarga dan lingkungan masing-masing. Praktik baik itu bisa dimulai dengan tidak buang sampah sembarangan.

Prof Mukhsin memberi catatan, yang terpenting dari sikap-sikap kepahlawanan dan dampak yang mereka lakukan adalah keistiqomahan atau kontinu. “Bagaimana tekad untuk memberi dampak positif itu tak mudah. Bukan berkaitan dengan program itu, tapi siapa yang nanti akan meneruskan. Menjaga kelestarian itu tak gampang,” tandas Prof Mukhsin.

Sementara itu, menurut Sururi, menanam dan merawat tanaman mangrove untuk melawan abrasi di kawasan pesisir Utara Kota Semarang khususnya di wilayah Kecamatan Tugu adalah bagian dari ibadah. Ia seolah terpanggil setelah abrasi hebat mulai melanda kawasan Tugu sejak tahun 1992. Sururi adalah Ketua Pelaksana Kelompok Tani “Mangrove Lestari” yang selama ini gigih menanam bibit pohon bakau di kawasan pesisir Pantai Mangunharjo dan Mangkang, Kecamatan Tugu, Semarang.

Dari perjuangannya menghijaukan pesisir Semarang, suami Nur Chayati itu menyebutkan saat ini setidaknya ada 80 hektare lahan yang sudah benar-benar berwujud menjadi hutan bakau. “Ngopeni Lingkungan itu bagian dari Ibadah,” kata Sururi saat ditanya, kenapa dia mau melakukan ini semua.

Budi baik yang disemai Sururi melalui kepeduliannya pada nasib pesisir Utara Kota Semarang itu berbuah. Baru-baru ini, Sururi terpilih sebagai penerima penghargaan Kalpataru kategori Perintis Lingkungan bersama tiga pejuang lingkungan lainnya di kategori sama yang telah diserahkan pada 5 Juni 2024. (her/tim)

Ikuti Kami di Google News