Jakarta, Idola 92.6 FM – Pegiat HAM menyebut, Pemilu 2024 menjadi momen krusial menuntut penghentian impunitas kasus HAM. Hal itu karena pemerintah selama ini justru terus melanggengkan impunitas, bahkan membiarkan terduga pelaku pelanggaran HAM berat menempati jabatan-jabatan publik dan berada di lingkaran kekuasaan.
Pemilu 2024 harus menjadi momentum penting untuk memilih pemimpin baru dan menghentikan praktik impunitas. Negara harus membawa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ke pengadilan untuk menunjukkan komitmen nyata bagi penghormatan dan penegakan HAM.
Demikan seruan yang dilontarkan para pegiat HAM, organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi dan kalangan jurnalis dalam diskusi publik “Roadshow Menolak Lupa Kasus Pelanggaran Berat HAM” di Bandung, 7 Februari 2024. Selain diskusi publik, acara roadshow ini juga menampilkan pemutaran film “Munir: Sebuah Extrajudicial Killing” dan penampilan seni.
Zaky Yamani, juru kampanye Amnesty International Indonesia, mengatakan, acara diskusi ini bertepatan dengan peringatan 35 tahun kasus pelanggaran HAM berat Tragedi Talangsari. Pada 7 Februari 1989, aparat militer melancarkan serangan di kampung Cihideung, Talangsari, Provinsi Lampung terhadap sekelompok komunitas Islam, Jemaah Warsidi–yang dituduh oleh pihak berwenang saat itu ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Tragedi itu menewaskan sedikitnya 130 orang, paling sedikit 53 orang ditahan secara semena-mena dan mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, dan setidaknya terdapat 77 orang yang diusir paksa dari kampungnya.
“Hingga kini Tragedi Talangsari tidak pernah diusut tuntas walau kasus itu diakui sebagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden Joko Widodo. Ini menandakan negara masih tidak serius memastikan keadilan, kebenaran, dan reparasi penuh kepada para korban pelanggaran HAM berat,” kata Zaky dalam siaran persnya kepada radio Idola Semarang.
Menurut Zaky, Pemilu 2024 tinggal seminggu lagi. Pemimpin yang terpilih harus melakukan investigasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Talangsari dan semua pelanggaran HAM lainnya secara menyeluruh, independen, dan imparsial.
“Pelaku harus diadili di pengadilan yang adil tanpa hukuman mati. Impunitas yang terus dipelihara merusak kepercayaan publik dan menandakan tindakan semacam itu bisa dilakukan tanpa konsekuensi,” harapnya.
Sementara itu, Suciwati, istri mendiang aktivis HAM, Munir Said Thalib, menyoroti bahwa budaya impunitas masih dipelihara oleh pemerintah. Ini yang menyebabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih belum bisa dituntaskan dan pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab tetap melenggang bebas.
“Pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara signifikan. Mereka hanya punya niat ingin menyelesaikan tetapi tidak pernah melaksanakannya,” tutur Suciwati yang menjadi pembicara diskusi. (yes/her)