Mungkinkah Membendung Praktik Kartelisasi Politik Elektoral?

ilustrasi/tempo

Semarang, Idola 92.6 FM – Potensi munculnya calon tunggal melawan kotak kosong dalam Pilkada DKI Jakarta semakin menguat. Mayoritas partai, kini telah menyatakan dukungannya kepada Ridwan Kamil di Pilgub DKI. Di antara partai-partai pemilik suara di DPRD hanya PDI Perjuangan yang belum mengambil sikap.

Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) telah mendeklarasikan pasangan Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta untuk Pilkada 2024. KIM Plus merupakan partai koalisi yang terdiri atas 12 partai politik. Koalisi ini beranggotakan: Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PSI, Gelora, Garuda, PKB, PKS, Perindo, PPP dan NasDem.

Hal ini berarti, menutup peluang Anies Baswedan sosok yang sempat digadang-gadang akan maju dalam Pilkada DKI. Adanya koalisi besar bernama KIM Plus seolah “mempreteli” partai pendukung Anies. Kini, hanya PDIP yang berencana mendukung Anies padahal, suara PDI Perjuangan tak cukup untuk mengusung sendiri tanpa berkoalisi.

Kita bukan termasuk yang memuja ataupun mendukung Anies Baswedan tetapi kita juga tidak membenarkan cara-cara seperti ini. Sebab, praktik seperti ini seolah hanya akan memberikan pilihan yang tak diharapkan publik.

Namun,, mungkinkah kita membendung praktik Kartelisasi Politik Elektoral? Apa dampak buruk yang ditimbulkan dari Kartelisasi Politik Elektoral?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Firman Noor (Profesor Riset Bidang Politik BRIN dan dosen ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia) dan Aditya Perdana, Ph.D (Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News