Menyoroti Polemik Pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Unair

Kenapa Perbedaan Pendapat Harus Dihadapi dengan Menggunakan "Kekuasaan?”

Aksi Damai Ksatria Airlangga
Aksi Damai Ksatria Airlangga Tolak Pemberhentian Dekan di depan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (4/7/2024). Aksi tersebut merespons diberhentikannya Dekan Fakultas Kedokteran Budi Santoso oleh Rektor. (Photo/Kompas)
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemberhentian sepihak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Budi Santoso oleh rektor, memicu polemik. Bahkan, pihak civitas akademika yang simpati terhadap Budi Santoso–seperti dosen hingga mahasiswa, melakukan aksi demo sebagai bentuk dukungan moril terhadap Budi Santoso.

Pemecatan Budi Santoso dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang, represif, dan sarat malaadministrasi. Namun, yang lebih mendasar, rektor Universitas Airlangga dinilai tidak berupaya menjaga kebebasan akademik, serta kampus sebagai rumah ilmuwan.

Pemberhentian Budi diduga karena perbedaan pendapat terkait keberadaan dokter asing di rumah sakit yang diwacanakan Kementerian Kesehatan. Tak terhindarkan, kesan campur tangan politik kekuasaan diduga terjadi, terutama oleh Menteri Kesehatan untuk mencopot siapa pun yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai, hal ini sebagai bentuk pemberangusan kebebasan akademik dan merupakan bagian dari pembungkaman.

Perkembangan terkini, Rektor Universitas Airlangga Surabaya M Nasih kembali mengangkat Dekan Fakultas Kedokteran Budi Santoso. Sebelumnya, Budi sempat dicopot dari jabatan Dekan FK setelah mengeluarkan pernyataan yang menolak kedatangan dokter asing di Indonesia. Nasih mengatakan, pihaknya kembali mengangkat Budi sebagai dekan setelah pihaknya menerima surat klarifikasi dan keberatan dari Budi yang diserahkan, Senin (08/07/2024) lalu.

Lalu, menyoroti polemik pemecatan Dekan FK Unair, kenapa Perbedaan Pendapat harus dihadapi dengan menggunakan “kekuasaan?” Kenapa di era demokratisasi dan transparansi seperti sekarang, cara-cara ‘lampau’ masih tetap dilestarikan? Bagaimana respons terbaik dari civil society atas praktik seperti ini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Herlambang P. Wiratraman (Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan juga Dosen di UGM Yogyakarta) dan Jauhar Kurniawan (YLBHI LBH Surabaya). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnya25,1 Juta Batang Rokok Ilegal Dimusnahkan
Artikel selanjutnyaDPR Resmi Membentuk Pansus Haji, Apakah Upaya Ini akan Dapat Meningkatkan Kualitas Layanan Haji?