Menyoroti Perubahan Jumlah Kementerian dalam RUU Kementerian Negara, Apa Plus-Minusnya?

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas memimpin rapat kerja mengenai kelanjutan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bersama pemerintah dan DPD di kompleks Parlemen, Jakarta. (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Badan Legislasi DPR membahas revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011. Pembahasan ini turut membuka peluang terhadap penambahan jumlah kementerian sesuai kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Adapun UU Kementerian Negara tidak ada dalam daftar 43 rancangan undang-undang (RUU) yang masih berada dalam pembicaraan tingkat I, Prioritas kerja DPR pada dua masa sidang terakhir sebelum Oktober 2024. Selain itu, UU Kementerian Negara juga tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.

Baleg DPR mengusulkan Pasal 15 UU Kementerian Negara berubah dari ”Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)” menjadi ”Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.”

Lewat perubahan diksi tersebut, Baleg DPR membuka ruang untuk penambahan atau pengurangan jumlah kementerian. Supratman menyerahkan keputusan itu kepada masing-masing fraksi partai politik di parlemen, untuk setuju ataupun tidak.

Menyoroti perubahan pasal jumlah Kementerian dalam revisi Undang-Undang Kementerian Negara; Apa plus-minusnya? Apa saja konsekuensinya dengan penambahan jumlah kementerian? Apakah dengan jumlah Menteri yang semakin banyak, maka kabinet pemerintahan akan bekerja lebih efektif; Atau justru, seperti tubuh manusia yang semakin “tambun” maka semakin berat buat berjalan? Apa saja risikonya kalau jumlah Kementerian menjadi semakin besar? Tidakkah ini menjadi semacam “yurisprudensi” bagi calon presiden ke depan untuk mengakomodir koalisi parpol pendukungnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Prof Muchamad Ali Safa’at (Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang) dan Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaPeduli Sesama Untuk Bisnis Berkelanjutan, Perusahaan Ini Raih Indonesia Best 50 CSR Awards 2024 Kategori Courier Service
Artikel selanjutnyaBagaimana Menjaga Momentum Kinerja Jaksa Agung yang Bagus dalam Penanganan Kasus Korupsi Selama 5 tahun Terakhir?