Menyorot Polemik Pengajuan Guru Besar oleh Politisi, Kenapa Gelar Begitu Sangat Penting bagi Sebagian Orang?

Profesor Palsu
ilustrasi/istimewa
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa waktu belakangan, publik Indonesia dihebohkan dengan skandal guru besar abal-abal. Banyak orang dicurigai melakukan kecurangan dalam memperoleh gelar prestise itu.

Awalnya, skandal ini mencuat terkait investigasi terhadap sebelas dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, yang mendapat gelar profesor lewat jalan pintas. Kemudian, isu ini juga menyeret para politisi yang mendapat gelar profesor.

Sorotan tertuju kepada Sufmi Dasco Ahmad, politisi Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI yang baru dinobatkan menjadi profesor dua tahun lalu. Kemudian juga, menyasar pada Bambang Soesatyo, politisi Golkar dan Ketua MPR RI yang sedang mengajukan gelar profesor ke Kemendikbud Ristek. Ini sebenarnya bukan fenomena baru karena sebelumnya sejumlah politisi juga marak mendapat anugerah gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa yang juga memicu perbincangan publik.

Khusus pada kasus Bambang Soesatyo, polemik muncul karena ada kejanggalan. Kelulusan S2-nya tercatat lebih dahulu daripada lulus jenjang S1. Lazimnya seseorang menempuh S1 terlebih dahulu baru kemudian S2.

Lalu, mengukur dampak dari polemik pengajuan gelar Guru Besar oleh politisi; seberapa dampak buruk fenomena ini bagi masyarakat kita? Apa yang membuat gelar begitu sangat penting bagi sebagian masyarakat Indonesia? Bahkan, sepulang dari ibadah haji di Mekah, maka โ€œHajiโ€ pun menjadi gelar?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Fariz Alnizar (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta/ Post-Doctoral Fellow di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), Dr. A.B. Widyanta, M.A. (Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), dan Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung/pengamat kebijakan pendidikan).ย (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: