Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo baru-baru ini menyayangkan peringkat pendidikan dan kesehatan Indonesia yang jauh tertinggal di posisi ke-57 dan ke-58 secara global. Ia pun membandingkan dengan ranking daya saing Indonesia berdasarkan Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness yang meningkat tujuh level pada posisi ke-27 dari sebelumnya 34.
Padahal dua hal tersebut menurut Jokowi sangat berpengaruh dalam penciptaan sumber daya manusia yang unggul di Indonesia. Sebab, SDM unggul itu nantinya menjadi modal untuk bersaing dengan negara lain. Jokowi pun mengingatkan infrastruktur sebaik apapun tidak akan berdampak besar pada bangsa dan negara apabila SDM belum mumpuni.
Atas kondisi ini, kita jadi teringat negara Vietnam yang skor PISA-nya lebih tinggi dari Indonesia. Hasil PISA 2022, Vietnam sudah masuk di ranking 20-an. Rata-rata siswanya sudah bisa bersaing dengan negara-negara OECD. Sementara kita masih di ranking 60-an.
Yang paling mengagetkan, dari Top 20% siswa yang kaya atau anak-anak dari 20% SES tertinggi di Indonesia, skor PISA-nya setara dengan siswa miskin di Vietnam.
Beberapa hari yang lalu, headlines di The Economist media yang berbasis di Inggrisberbunyi: “Why are Vietnam schools so good? It understands the value of education and manages its teachers well“
“Mengapa sekolah-sekolah di Vietnam begitu bagus? (Karena) mereka memahami nilai pendidikan, dan mengelola gurunya dengan baik”
Pada tahun 2022, para peneliti di Centre for Global Development yang berpusat di Washington DC menerbitkan sebuah studi: bahwa, 56 dari 87 negara berkembang, kualitas pendidikannya telah menurun sejak tahun 1960-an. Sedangkan Vietnam, adalah salah satu dari sedikit negara yang justru sebaliknya, yaitu semakin maju.
Menariknya, Vietnam tidak memulainya dengan mengubah kurikulum pendidikan. Bukan pula melengkapi atau ‘mempercantik’ infrastrukturnya. Vietnam mengawali revolusi pendidikannya dengan memperbaiki manajemen SDM para GURU atau pengajarnya sehingga menghasilkan mutu para pengajar atau guru yang efektif.
Setelah itu, tata kelolanya diperbaiki. Kesenjangan gajinya dihilangkan. Sebaran penempatan, status, kesejahteraan dan faktor-faktor yang menghambat tumbuhnya kualitas guru dituntaskan. Sehingga, menjadi guru, tidak lagi menjadi pilihan terakhir dari sebuah profesi.
Saat ini, kalau kita melihat infrastruktur sekolah-sekolah di Vietnam akan terlihat biasa-biasa saja. Bahkan, kalah bagus dibanding sekolah-sekolah di negara kita. Namun, dari sisi kualitas gurunya, sudah sepatutnya kita mengintip dan belajar kepada mereka.
Melakukan perbaikan pada manajemen guru memang tidak terlihat. Beda dengan melakukan perbaikan infrastruktur atau kurikulum yang langsung terlihat dan bisa “diglorifikasi.” Namun, meski tidak mudah menjadi viral di media tapi Vietnam menempuh jalan tidak viral ini.
Lalu, kenapa kita lebih memilih kebijakan yang viral dan seru diperbincangkan, seperti kurikulum, infrastruktur, dan bangunan sekolah ketimbang kebijakan yang ‘sunyi’ seperti penyiapan dan managemen guru yang berkualitas seperti di Vietnam?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Johanes Eka Priyatma, PhD (Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (periode 2018-2022)), Prof Iwan Pranoto (Dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB)), dan Fauzi Abdillah, M.Pd (Kepala Bidang Diklat dan Kompetensi P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru) serta Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: