Menimbang Perlunya Fit and Proper Test untuk Jabatan Menteri

Kompetensi Apa yang Perlu Diuji dari Calon Menteri?

Fit And Proper Test
Ilustrasi/Istimewa
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada era kepemimpinan nasional baru mendatang, muncul gagasan agar ada uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk menentukan menteri yang bakal duduk di cabinet. Usulan ini dilontarkan oleh politikus PDI-Perjuangan Effendi Simbolon.

Menurut dia, uji kelayakan dan kepatutan ini dibutuhkan agar mereka yang duduk sebagai menteri memang berkompeten dan professional bukan sekadar bagi-bagi jabatan.

Sejumlah kalangan pun merespons positif gagasan tersebut. Sebab, Jika uji kelayakan dan kepatutan dilakukan secara serius oleh pemerintahan mendatang, Indonesia akan memperoleh sosok menteri yang kompeten, responsif, dan bertanggung jawab pada kepentingan rakyat. Sebab, saat ini publik melihat banyak menteri yang duduk di kabinet kurang sesuai dengan keahlian dan kompetensinya.

Contohnya, ketika bangsa Indonesia sedang prihatin dengan peretasan Pusat Data Nasional yang mengakibatkan 282 simpul layanan publik lumpuh dan banyak pekerjaan untuk pemulihan data, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian serta Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi seakan tidak melakukan apa-apa.

Dalam situasi itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan memutuskan mundur dari jabatannya sebagai wujud tanggung jawab atas kasus ini. Sementara, Budi Arie berkelit sana-sini, menyalahkan banyak pihak, dan terakhir masih sempat datang ke Aceh untuk mendukung salah satu calon gubernur dalam Pilkada 2024.

Lalu, menimbang perlunya fit and proper test untuk jabatan menteri: kompetensi apa yang perlu diuji dari calon menteri—kalau sifat jabatan Menteri adalah politis, bukan teknokratis?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Analis/Pengamat/Dosen Politik UI dan Executive Director Indonesian Strategic Research (ISR), Dr. Cecep Hidayat. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengkaji Wacana Kebijakan Bea Masuk hingga 200 Persen untuk Barang-barang Impor asal China
Artikel selanjutnyaPeringati 100 tahun Kematian Franz Kafka, Belasan Penulis Terjemahkan Tiga Cerpen Kafka dalam 13 Bahasa Daerah