Semarang, Idola 92.6 FM – Rencana pemerintah untuk menarik iuran wajib kepada semua pekerja lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai gelombang kritik publik. Salah satu alasannya karena dinilai sebagai kebijakan keliru di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu.
Iuran wajib Tapera tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan terbaru itu diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2024. Kepesertaan Tapera untuk pembiayaan perumahan secara gotong royong diwajibkan paling lambat tahun 2027.
Aturan baru itu merevisi bahwa peserta iuran wajib Tapera kini bukan hanya untuk PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN melainkan termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah. Besaran total iuran yang wajib diberikan yakni sebesar 3 persen, masing-masing 2,5 persen diambil dari pekerja dan 0,5 persennya dari pemberi kerja.
PP Tapera didasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Di dalamnya menyebutkan bahwa Tapera merupakan penyimpanan periodik peserta dalam jangka waktu tertentu, yang dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.
UU Tapera disahkan dalam Rapat Paripurna pada 23 Februari 2016 dan disetujui semua fraksi. Bahkan, UU Tapera kala itu menjadi RUU inisiatif yang pertama diusulkan DPR periode 2014-2019.
Lalu, menimbang kelayakan program Tapera, haruskah dilanjutkan? Kalau tetap dipaksakan, bagaimana pemerintah menepis kecurigaan masyarakat, bahwa iuran tapera adalah cara negara memeras warganya secara legal?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Aan Eko Widiarto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang/ahli Hukum Tata Negara), Dr. Trubus Rahardiansyah (Analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Jakarta), dan Danang Girindrawardana (Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: