Menguatnya Korupsi Politik dalam Pilkada 2024 dan Ancaman Bagi Kelompok Rentan, Bagaimana Mengantisipasinya?

Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang Pilkada 2024, Transparency International Indonesia (TII) mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola pengangkatan dan evaluasi terhadap Penjabat Gubernur. Sejak awal, TII menilai, penunjukkan PJ Gubernur tidak transparan dan nir-partisipasi sehingga dalam praktiknya kehadiran PJ Gubernur tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah di daerah. Bahkan, kinerja PJ Gubernur cenderung hanya business as usual dan lebih mengedepankan kepentingan kebijakan Pemerintah Pusat.

Menurut TII, secara politik, PJ kepala daerah termasuk PJ Gubernur justru menjadi bagian dari masalah dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif 2024. Hal ini dapat ditelusuri dalam proses persidangan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi yang menguatkan indikasi ketidaknetralan PJ kepala daerah dalam pemilu. Ketidaknetralan tersebut merembet pada penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi aparatur sipil di daerah hingga perangkat desa untuk memenangkan paslon tertentu. Akibatnya kebijakan dan anggaran daerah tidak lagi memprioritaskan kepentingan warga, alih–alih terhadap kelompok rentan. Kehadiran PJ kepala daerah pada akhirnya justru menambah “kerentanan” bagi kelompok rentan.

TII melihat, PJ kepala daerah telah menjadi instrumen untuk melanggengkan praktik korupsi politik. Stagnasi Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia Tahun 2023 setidaknya mengkonfirmasi bahwa masalah korupsi politik masih mengakar dalam sistem demokrasi Indonesia. Pilkada Serentak 2024 yang sedang berjalan terancam menjadi ajang transaksional yang melibatkan PJ kepala daerah sebagai aktor mengendalikan kebijakan di daerah. Terlebih lagi penggantian PJ kepala daerah di masa tahapan pilkada yang sedang berjalan, lebih memperlihatkan upaya sistematis untuk memastikan para pemegang kekuasaan dimenangkan dalam kontestasi pilkada.

Lalu, menguatnya korupsi politik dalam Pilkada 2024 dan ancaman bagi kelompok rentan; bagaimana mengantisipasinya? Perlukah melarang mantan narapidana mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Aan Eko Widiarto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang/ahli Hukum Tata Negara) dan Luthfi Makhasin,Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News