Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengajak publik untuk berpikir mengenai sistem Pilkada. Prabowo menyebut, pilkada langsung boros biaya dan perlu dikaji ulang. Ia mendorong supaya kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD. Presiden mencontohkan negara Malaysia hingga India yang memilih gubernur lewat DPRD.
Pernyataan Presiden Prabowo itu menuai pro dan kontra. Mayoritas partai politik menyatakan setuju dengan wacana Prabowo tersebut. Mereka menilai Pilkada langsung memiliki ongkos yang mahal. Meski demikian, pandangan berbeda dilontarkan DPP PDI Perjuangan. Mereka tetap menginginkan rakyat sebagai memegang kedaulatan dalam pilkada dengan cara memilih langsung. PDIP berharap, semua pihak tak terburu-buru.
Sementara itu, Pakar Hukum dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi-Mahfud MD menilai bahwa pemilihan kepala daerah saat ini perlu dievaluasi mengingat biaya untuk menggelar Pilkada cukup mahal dan juga “jorok.” Ia mengingatkan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD pernah disetujui oleh DPR pada tahun 2014 tetapi hanya bertahan selama dua hari sebelum dicabut di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mahfud MD merujuk pada Undang-undang No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, yang dikeluarkan pada 29 September 2014 dan dicabut pada 2 Oktober 2014.
Lalu, kalau Pemilu mesti diperbaiki untuk menghemat biaya, apakah pilihan kembali ke sistem lama di mana gubernur cukup dipilih oleh DPRD merupakan sebuah langkah mundur bagi demokrasi kita? Kalau toh, gubernur sebagai representasi Pemerintah Pusat cukup dipilih oleh DPRD, lalu bagaimana dengan Bupati/ walikota?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Aditya Perdana (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Indonesia) dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: