Semarang, Idola 92.6 FM – Peluang Anies Baswedan maju bersama PDI Perjuangan kembali terbuka setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap Undang-Undang Pilkada. Salah satu substansi dari putusan itu adalah parpol hanya memerlukan 7,5 persen suara DPRD untuk mengusung pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta.
Dalam aturan sebelumnya, parpol harus memiliki setidaknya 22 kursi DPRD untuk maju, sementara PDIP hanya memiliki 15 kursi. PDI Perjuangan sendiri telah membuat pernyataan soal kemungkinan mengusung Anies.
Atas putusan tersebut, PDI Perjuangan terus mengupayakan pengusungan Anies meski sebelumnya terkendala threshold. Anies menjadi nama paling kuat dipertimbangkan PDIP untuk diusung bersama kader mereka, Hendrar Prihadi atau Hendi.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional. Amar putusan MK mengubah isi pasal 40 ayat 1 UU Pilkada. Pada poin c dinyatakan, provinsi dengan penduduk yang memiliki DPT 6 juta hinga 12 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen untuk dapat mengusulkan gubernur dan wakil gubernur.
Lalu, membaca dampak putusan MK bahwa Parpol bisa usung Cagub meski tak punya kursi di DPRD; Apakah bisa jadi momentum untuk menghilangkan treshold parpol mengusung Calon Kepala Daerah yang malah melahirkan budaya kartel? Akankah PDIP mengusung Anies, atau Ahok, mungkinkah memasangkan keduanya? Apakah keputusan MK ini bisa membatasi trend The Winner Takes It All?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Panji Anugrah Permana (Pengamat Politik dari FISIP Universitas Indonesia (UI)), Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) Indonesia), dan Dr. Dhia Al Uyun (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: