Semarang, Idola 92.6 FM – Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024 menyajikan fenomena kalahnya sejumlah petahana. Mereka di antaranya petahana Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, yang berpasangan dengan Hasan Basri Sagala kalah dari rivalnya, Bobby Nasution dan Surya di Pilgub Sumatera Utara.
Petahana Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang berpasangan dengan Meriani juga kalah dari pasangan calon Helmi Hasan dan Mian. Rohidin adalah calon gubernur incumbent Bengkulu yang terjerat kasus korupsi.
Kemudian, Arinal Djunaidi calon gubernur incumbent di provinsi Lampung juga kalah dari lawannya. Berdasarkan hasil hitung cepat Indikator Politik Indonesia, Arinal yang berpasangan dengan Sutono mendapat 17,46 persen suara alias kalah telak, dari paslon Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela yang memperoleh 82,54 persen suara.
Di Maluku, Calon gubernur petahana, Murad Ismail yang berpasangan dengan Michael Wattimena hanya memperoleh 26,78 persen versi hitung cepat LSI Denny JA, takluk dari paslon pesaingnya, Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath yang memperoleh 49,23 persen. Fenomena serupa juga terjadi di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Lalu, kenapa para โpetahanaโ yang semestinya memiliki privilese elektoral dan โkapitalโ yang relatif sudah “tertanam” baik selama lima tahun di masyarakat bisa kalah?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Firman Noor (Profesor Riset bidang politik BRIN dan dosen ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia) dan Dr Edi Santoso (Pengamat komunikasi politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto).ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: