Semarang, Idola 92.6 FM – Kasus dugaan korupsi dalam tata niaga timah yang diusut Kejaksaan Agung baru-baru ini membikin heboh dan menyita perhatian masyarakat luas. Pemberitaan media pun mewarnai kasus ini dalam sepekan terakhir. Bagaimana tidak, kasus ini disebut-sebut merugikan negara hingga mencapai Rp271 triliun–sebuah angka yang fantastis dan memecahkan rekor sebagai kasus korupsi yang paling besar merugikan negara.
Perkara dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 dinilai merugikan negara Rp 271 triliun. Nilai itu berasal dari berbagai jenis kerugian yang perlu ditanggung, yakni kerugian lingkungan dan ekonomi serta biaya pemulihan.
Kejaksaan Agung selaku penyidik sudah menetapkan 16 tersangka, baik dari pihak swasta maupun PT Timah. Kasus timah ini juga turut menyeret nama-nama populer, seperti suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan Helena Lim, perempuan yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk.
Salah satu saksi ahli penyidik, yang juga seorang akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, menyebutkan, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271.069.688.018.700. Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47.703.441.991.650.
Lalu, memahami kasus korupsi PT Timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun: Bagaimana bisa pihak swasta ikut terlibat melakukan korupsi? Benarkah pelaku “hanya kaki tangan” karena ada aktor intelektual di belakangnya? Bagaimana mendorong untuk menyelidiki aktor intelektualnya? Bisakah PPATK membantu menguak kasus ini?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)) dan Dr Herdiansyah Hamzah (Peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: