Semarang, Idola 92.6 FM – Lagi-lagi kepala daerah ditangkap KPK. Kali ini, KPK menangkap dan menahan Bupati non aktif Labuhan Batu, Sumatera Utara, Erik Adtrada Ritonga di Jakarta, Jumat (12/1/24) lalu. Erik diduga melakukan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. Ia diduga mengintervensi dan aktif dalam mengatur berbagai proyek pengadaan di Labuhan Batu.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menangkap 10 orang. Empat di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Selain Erik, KPK juga menahan anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu Rudi Syahputra Ritonga, serta dua orang dari pihak swasta, yakni Efendy Sahputra dan Fazar Syahputra.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hampir setengah dari kasus korupsi yang ditangani penegak hukum berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Kasus korupsi di sektor ini marak terjadi karena sebagian besar komponen belanja anggaran seluruh pemerintah merupakan barang dan jasa. Modus yang jamak dilakukan adalah memark-up harga, penyelewengan anggaran, dan proyek fiktif.
Sementara itu, Berdasarkan data KPK, sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama. Banyaknya pejabat daerah yang terjerat KPK salah satu faktornya karena biaya politik yang mahal.
Lalu, kenapa sangat sedikit jumlah Kepala Daerah yang benar-benar mengabdi bagi pemberdayaan masyarakat? Apakah mahalnya biaya politik—yang menjadi sebab—para Kepala Daerah ramai-ramai melakukan praktik korupsi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zaenur Rohman. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: