Semarang, Idola 92.6 FM – Krisis kesehatan mental di kalangan remaja semakin banyak dilaporkan dari sejumlah negara. Laporan hasil survei orangtua di Singapura olehย Duke-NUS Medical School dan Institute of Mental Healthย ย menunjukkan, 16,2 persen remaja di Singapura mengalami gejala yang konsisten setidaknya satu dari depresi dan kecemasan. Namun, hanya 15 persen di antara mereka yang mendapatkan penanganan dari ahli kesehatan. Demikian dilansir dari Kompas.id (16/09).
Sebelumnya, laporan penelitianย UConn School of Medicineย awal Mei 2023 menunjukkan, kunjungan ruang gawat darurat untuk krisis kesehatan mental melonjak di antara anak-anak, remaja, dan dewasa muda di Amerika Serikat dari tahun 2011 hingga 2020.
Sementara itu, laporan Organisasi Kesehatan Dunia-WHO juga menunjukkan, secara global, satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa, terhitung 13 persen dari beban global penyakit pada kelompok usia ini. Depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku, adalah salah satu penyebab utama penyakit dan kecacatan di kalangan remaja. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian keempat di antara usia 15-29 tahun.
Adapun di Tanah Air, berdasarkan Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, sebanyak 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
Lalu, ketika krisis kesehatan mental di kalangan remaja semakin banyak dilaporkan dari sejumlah negara; bagaimana cara mengantisipasinya? Di dalam Keluarga: pola asuh seperti apa yang mesti di masyarakatkan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Dekan Fakultas Psikologi UGM/ peneliti pada Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rahmat Hidayat, PhD.ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: