Kasus Umpatan Miftah: Apa Sesungguhnya yang Membuat Kita Mengutuknya?

Semarang, Idola 92.6 FM – Minggu kemarin terjadi kegaduhan di lini masa. Seperti kita tahu, kehebohan itu dipicu oleh beredarnya sebuah potongan video yang menampilkan Miftah Maulana, seorang penceramah yang mengatakan ‘Goblok’ kepada seorang tukang penjual Es Teh asongan.

Seketika, banyak orang yang menghujat, mencaci, mencela sambil rame-rame berdonasi untuk memberikan sumbangan kepada si penjual es teh itu. Tak hanya berhenti sampai di situ, si penceramah agama yang kebetulan juga menjabat sebagai “Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan,” diminta untuk mundur dari jabatannya.

Diskusi ini bukan bertujuan untuk membenarkan atau ikut-ikut menyalahkan, tetapi kita perlu merefleksikannya: Apa sesungguhnya yang membuat masyarakat sangat marah, dan mengutuknya? Benarkah karena ‘Standar Moral’ masyarakat tersinggung?

Kalau benar-benar soal moral yang menjadi masalahnya, lalu kenapa ketika Rocky Gerung yang juga seorang dosen dan tokoh politik mengumpat kepada presiden Jokowi kala itu dengan kata-kata kasar, “Bajingan Tolol” kita diam saja?

Berbeda dengan kasus penjual es teh yang disebut “Goblok” oleh Miftah yang membuat seluruh rakyat Indonesia langsung murka dan mengutuk. Lalu, kenapa kemarahan tidak terjadi pada kasus Rocky Gerung?

Kejadian ini mengingatkan kita pada kutipan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman: “If you kill a cockroach … you are a hero, if you kill a butterfly you are bad. Morality has aesthetic standards.” [Jika Anda membunuh kecoa, Anda adalah seorang pahlawan, jika Anda membunuh kupu-kupu, maka Anda jahat. Moralitas, rupanya mengikutii standar estetika].

Jadi, apakah kita mengutuk Miftah karena standar moral kita? Atau karena afiliasi politik kita yang berbeda? Atau, benarkah yang dikatakan Nietzsche, bahwa kita memang cenderung menggunakan standar moral ganda?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan Universitas Negeri Jakarta) dan Dr. A.B. Widyanta, M.A. (Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaStok BBM di Karimunjawa Dipastikan Aman Selama Nataru
Artikel selanjutnyaASN Singapura Dinobatkan Jadi yang Terbaik di Dunia, Kalahkan Negara-negara Maju; Apa Pelajaran Penting bagi Kita?