Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo mulai mengkaji berbagai kemudahan dan layanan untuk keluarga-keluarga superkaya agar mereka dapat menanamkan dananya di Indonesia. Rencana Presiden Jokowi ini, hari Senin kemarin mulai dibahas dalam rapat internal yang dihadiri juga oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
“Family Office” adalah dana dari orang kaya raya di dunia, yang diperbolehkan disimpan di Indonesia. Namun, pemilik dana harus melakukan investasi di beberapa proyek di Indonesia. Family office merupakan sebuah kluster keuangan yang memberikan kemudahan pelayanan bagi keluarga-keluarga superkaya untuk menanamkan dananya di Indonesia.
Dilansir dari Kompas.id (03/07/2024), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan memiliki family office, manfaatnya bukan hanya untuk meningkatkan peredaran modal di dalam negeri tetapi juga untuk menghadirkan potensi peningkatan produk domestik bruto (PDB) serta lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal yang diciptakannya.
Sejauh ini, beberapa negara di dunia yang sudah menjadi tuan rumah bagi aset warga superkaya tersebut antara lain; Singapura, Hong Kong, dan Dubai. Dua negara Asia yang saat ini cukup kuat sebagai tuan rumah family office adalah Singapura yang telah melayani 1.500 family office dan Hong Kong yang telah melayani 1.400 family office.
Meski demikian, terkait rencana menyambut para keluarga superkaya berinvestasi di Tanah Air, pengamat menilai masih banyak pembenahan yang perlu disiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Mulai dari yang utama: kepastian hukum, regulasi, dan sumber daya manusia yang mumpuni serta iklim berusaha yang menjanjikan dan memudahkan.
Lalu, dengan adanya rencana Family Office agar kita dapat menarik banyak dana besar dari keluarga superkaya, apa saja stimulus yang perlu diberikan? Apakah cukup hanya bebas pajak?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Esther Sri Astuti, PhD (Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro Semarang) dan Bhima Yudistira Adhinegara (Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: