Mranggen, Idola 92.6 FM – Kota Semarang dikenal sebagai kota lunpia. Lunpia merupakan kuliner perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa. Lunpia memiliki ciri khas berupa kulit yang renyah dan isian yang antara lain terdiri dari rebung, telur, daging ayam, dan daging udang.
Jumlah produsen lumpia di Semarang ada sekitar puluhan orang, belum termasuk produsen lunpia di luar kota. Untuk memenuhi kebutuhan rebung di dalam kota, diprediksi memerlukan pasokan rebung mencapai 50 kuintal per hari hingga 200 kuintal per hari.
Salah satu daerah pemasok rebung ke Kota Semarang adalah Desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen. Desa Banyumeneng masuk dalam wilayah Kabupaten Demak Jawa Tengah. Petani di desa ini memanfaatkan lahan marginal mereka dengan budidaya bambu ampel kuning untuk produksi rebung. Budidaya bambu dilakukan secara tradisional dan diusahakan secara turun temurun, dapat dipanen setiap minggu dan petani memperoleh penghasilan mingguan.
Salah satu pelaku usaha rumahan bahan baku lunpia adalah Fahri Ushofa, pengusaha muda asal Banyumeneng. Ia yang tinggal di Dusun Kedung Dolog RT 05 RW 02 Banyumeneng ini, memulai usahanya, sejak tahun 2010 silam. Usaha itu mewarisi usaha yang dirintis, Muflichah, almarhumah ibunya.
Dahulu, ibunya, mencari, mengumpulkan, membeli rebung dari petani di lingkungan tempat tinggalnya. Jenis rebung yang ditampung, terutama rebung pohon bambu peting atau bambu kuning atau bambu ampel kuning (Bambusa vulgaris var. striata Schard ex Wendl), dan bambu petung {Dendrocalamus asper (Schult.) Backer}.
Usaha produksi bahan baku lunpia berupa rebung rajangan atau rebung glondongan terus berkembang. Pelanggannya, tidak hanya berasal dari Kota Semarang, tetapi juga Kabupaten Demak, dan Kendal. Ia pun melayani konsumenn baik permintaan lunpia matang (pembeli hanya tinggal menggoreng) ataupun bahan baku rajangan rebung.
Menurut Fahri, puncak permintaan rebung—baik glondongan maupun rajangan/cacahan terjadi saat jelang hari besar keagamaan seperti Idul Fitri. Bahkan, jelang Lebaran, jumlah pesanan meningkat berkali-kali lipat dari waktu sebelumnya. Dalam sahari ia bisa merajang hingga berkuintal-kuintal rajangan rebung.
“Sempat kewalahan, tapi alhamdulillah, semua bisa kami atasi,” kata anak muda murah senyum kelahiran Demak, 27 juli 1988 ini, saat diwawancara belum lama ini.
Terkait harga, menurut Fahri, harga jual rebung fluktuatif mengikuti musim. Harga di musim hujan biasanya harganya lebih murah daripada pada musim kemarau. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan hasil panen rebung pada musim hujan selain itu juga aspek supplay and demand.
Saat ditanya proses usahanya hingga seperti sekarang ini, Fahri, mengatakan, sudah mengalami “jatuh bangun” berulang kali. Sebelum merintis home industri bahan baku lunpia di rumah, Fahri pernah bekerja pada pengrajin Lunpia di Pusat Oleh-oleh Jalan MT Haryono (Mataram). Selang beberapa waktu, ia kemudian memilih mencoba peruntungan sendiri.
Saat itu, ia berjualan lunpia dengan nglapak memakai gerobak di kawasan wisata Kelenteng Sam Poo Kong Kedung Batu Semarang. Namun sayangnya, di tengah peluang bisnis yang menggiurkan ia bernasib kurang baik. Gerobak dagangannya dipinjam teman dan tak pernah kembali.
“Ndak tahu, ya. Waktu itu tak ada omongnya, di mana gerobaknya. Kemungkinan kalah tak hilang yang dijual,” ujar Fahri, penggemar Tim PSIS Semarang ini .
Dalam wirausaha lunpia, Fahri tak sendirian, ketika dapat permintaan, ia dibantu Fitri Saidah (25), adiknya dan Nahrowi (60) , ayahnya. Menurut Fitri, saat ini, harga rebung di desanya, rebung glondongan matang Rp9 ribu, rajangan Rp13 ribu, dan rebung mentah dengan dikupas bersih Rp7 ribu.
“Harganya, tak tentu, bergantung musim. Misal pas musim hujan—karena banyak rebung harga normal bisa turun sampai Rp5 ribu-Rp6 ribu per kilogramnya. Padahal, kalau lebaran bisa sampe Rp9 ribu – Rp10 ribu untuk rebung mentah kupasan,” ujar Pipit, panggilan akrab Fitri Saidah.
Setiap daerah selalu memiliki potensi lokal. Bagaimana potensi itu kemudian bisa menjadi sumber penghidupan, kita bisa belajar dari sosok Fahri Ushofa dan keluarganya di Banyumeneng Mranggen. (her/tim)