Dicoretnya “Rekomendasi FKUB”, Dapatkah Mempermudah Syarat Pendirian Rumah Ibadah?

Rumah Ibadah
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Penolakan pendirian rumah ibadah menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun. Alasan klasik rumah ibadah tak memiliki izin kerapkali menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran. Sejumlah peraturan yang dianggap diskriminatif serta pemerintah daerah yang kerap tak tegas terhadap tekanan kelompok intoleran semakin menyudutkan kaum minoritas.

Merujuk data Setara Institute, sejak 2007 hingga 2018, terdapat ratusan kasus penolakan dan penyerangan rumah ibadah. Paling banyak terjadi pada gereja dengan 199 kasus, disusul masjid dengan 133 kasus. Penyerangan itu antara lain berupa penyegelan hingga intimidasi.

Pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah.

Sesuai Peraturan Bersama Menteri itu, pendirian tempat ibadah membutuhkan paling sedikit 90 nama pengguna tempat ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, pendirian tempat ibadah harus didukung sedikitnya 60 warga setempat dan disahkan oleh lurah atau kepala desa, mendapat rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, serta rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Atas situasi tersebut, Kementerian Agama tengah menyusun revisi syarat pendirian rumah ibadah. Salah satunya akan mencabut rekomendasi dari FKUB sebagai salah satu syarat pendirian rumah ibadah.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut, pendirian rumah ibadah ke depannya hanya memerlukan rekomendasi dari Kementerian Agama. Sementara itu, rekomendasi dari FKUB bakal dicoret. Aturan baru tersebut recananya akan diteken Presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Lalu, apakah dengan dicoretnya rekomendasi FKUB dapat mempermudah pendirian rumah ibadah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaMengurai Lesunya Industri Manufaktur Indonesia
Artikel selanjutnyaProgram Wisata Mangrove Edupark Tambakrejo Raih Penghargaan Platinum