Semarang, Idola 92.6 FM – Di saat banyak orang mengejar gelar atau jabatan guru besar atau profesor, sosok yang satu ini justru bermaksud menghilangkan sematan itu jauh-jauh dari namanya. Meski memiliki jabatan profesor di kampusnya, ia malah tak ingin ada embel-embel profesor itu tertera dalam penulisan korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, serta transkrip nilai.
Sosok itu adalah Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid. Baru-baru ini, ia menggaungkan desakralisasi jabatan profesor dengan meminta gelar profesor yang dimilikinya itu tidak lagi disandingkan dengan namanya di berbagai surat atau dokumen resmi di kampus.
Tak sampai di situ, ia juga mengeluarkan Surat Edaran Rektor UII kepada pejabat struktural di lingkungan UII yang secara resmi ia tandatangani di Yogyakarta.
Kepada media massa, Fathul mengatakan bahwa langkah tersebut ia tempuh sebagai sebuah gerakan kultural untuk men-desakralisasi jabatan profesor di Indonesia. Ia ingin menekankan bahwa profesor sebagai tanggung jawab, amanah akademik bukan sebagai status sosial yang kemudian diglorifikasi dan dikejar-kejar.
Dengan beban tanggung jawab yang besar itu, ia tidak ingin di Indonesia muncul sekelompok orang termasuk para politisi dan pejabat yang justru memburu jabatan tersebut dengan mengabaikan etika.
Lalu, memaknai upaya desakralisasi jabatan profesor yang dilakukan Rektor UII Fathul Wahid; Akankah ini menjadi tradisi baru di kalangan akademisi dan di tengah gejala “Masyarakat Kredensial”?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Yanuar Nugroho, PhD (Akademisi/Dosen STF Driyarkara dan Anggota Kehormatan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)) dan Prof. Mohammad Nasih (Rektor Universitas Airlangga Surabaya). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: