Semarang, Idola 92.6 FM – Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal APBN tahun 2025/ defisit APBN di era transisi Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto dirancang sebesar 2,45% – 2,82% dari PDB atau mencapai Rp 600 Triliun. Jumlah ini merupakan defisit APBN tertinggi di masa transisi.
Anggota Banggar DPR RI Dolfie O.F.P menilai bahwa rentang defisit anggaran untuk tahun 2025 relatif tinggi, dengan ruang belanja yang ditetapkan pada kisaran Rp3.500 triliun. Bahkan, tingkat defisit APBN tahun 2025 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah transisi pemerintahan Indonesia.
Tercatat pada RAPBN 2005 atau masa transisi Megawati ke SBY, defisit hanya sebesar 0,8 persen dari PDB atau sekitar Rp16,9 triliun. Lalu, defisit APBN 2015 atau transisi SBY ke Presiden Jokowi adalah 2,32 persen atau sekitar Rp257,6 triliun.
Sejumlah kalangan menilai, tingginya defist APBN 2025 dimungkinkan untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintahan baru dan mengantisipasi program baru. Namun, besarnya defisit juga dikhawatirkan bisa membebani APBN dan mempersempit ruang fiskal di era suku bunga tinggi sehingga cukup membahayakan.
Lalu, ketika defisit APBN 2025 di era Prabowo Subianto mencapai Rp600 triliun; bagaimana bias sudah defisit sebelum dilantik? Apa penyebabnya dan bagaimana jalan keluarnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Rahma Gafmi (Ekonom/ Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya) dan Ahmad Heri Firdaus (Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: