Kendal, Idola 92.6 FM – Cerpen Robohnya Surau Kami masih begitu membekas dalam ingatan publik sastra hingga kiwari. Meski ditulis oleh AA Navis 1955, cerpen itu seolah memiliki daya pikat dan magis yang membuat para pembacanya terus terkenang kisah bualan tokoh Ajo Sidi yang menyebabkan kakek penjaga surau meninggal bunuh diri.
Demikian salah satu bahasan yang mengemuka dalam diskusi “AA Navis: Karya dan Dunianya,” Minggu (22/12) di Gedung Sastra & Sosial Guyub Desa Bebengan Boja Kendal Jawa Tengah. Sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yakni Fitriyani (cerpenis cum guru) dan dipandu Anindita Tisa Amanda (pegiat literasi dari Teras Baca Boja). Acara dihadiri belasan penikmat sastra yang terdiri dari mahasiswa, guru, hingga sebagian siswa SMP-SMA di wilayah Singorojo-Boja-Limbangan (Siboli) Kendal.
Diskusi mengenang AA Navis tersebut sebagai salah satu rangkaian “Festival Kecil: Tiga Sastrawan Besar” yang diselenggarakan sejumlah komunitas dan pegiat literasi di Kecamatan Boja. Acara ini digelar secara gotong royong oleh: Teras Baca Boja (TBB), Boja Baca, Bukit Buku, Komunitas Lerengmedini (KLM), dan Perpustakaan Ajar. Tak hanya diskusi, acara juga diisi dengan panggung literasi, jemuran puisi, pameran karya, lapak buku, teras kreasi, dan bincang sastrawan.
Robohnya Surau Kami merupakan salah satu cerpen AA Navis yang memiliki ketenaran di jagat sastra Indonesia. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1955. Cerpen ini oleh sebagian kritikus sastra dinilai sebagai salah satu karya monumental AA Navis dalam dunia sastra Indonesia. Cerpen Robohnya Surau Kami berkisah tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran kecil) di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia–si Kakek meninggal dengan menggorok lehernya sendiri setelah mendengar bualan tokoh Ajo Sidi. Cerita Ajo Sidi bertutur tentang Haji Saleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid–persis seperti apa yang dilakukan oleh si Kakek.
Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah. Ia merasa orang yang paling taat beribadah. Bisa disebut, semua laku ibadah syariat dari Tuhan telah ia laksanakan semua. Namun, pada saat “hari keputusan”, hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, ternyata Haji Saleh bersama sejumlah orang justru dimasukkan ke neraka. Spontan, Haji Saleh pun memprotes Tuhan. Maka, oleh Tuhan, dijelaskanlah alasan dia masuk neraka,
“Kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.” Begitu penjelasan Tuhan dalam cerpen itu.
Singkat cerita, merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, si Kakek pun murung bukan kepalang. Syahdan, ia memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi, yang mengetahui kematian Kakek, hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.
“Ada sesuatu yang besar, yang berhasil disajikan AA Navis dalam cerpen-cerpennya. Padahal, hal itu diambil dari peristiwa sehari-hari. Salah satunya dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Saya masih terkenang tokoh si pembual Ajo Sidi dalam cerpen itu sampai sekarang,” ujar Fitriyani.
Menurut Fitriyani, dari gaya penceritaan, salah satu kelebihan AA Navis adalah percakapan antartokoh dan cara dia menutup cerita. “Singkat tapi penuh makna,” tutur mantan pegiat Teater GEMA UPGRIS ini.
Ia pun mengajak hadirin menyimak serta mencermati dengan saksama bagian akhir dalam cerpen Robohnya Surau Kami antara si kakek pencerita dengan istri Ajo Sidi. “Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.“Ya, dia pergi kerja.”
“Se simple itu, AA Navis menutup cerpennya. Banyak tafsir atas cerpen ini. Salah satunya, menggambarkan manusia sebegitu tak pedulinya dengan manusia lain!” tutur Fitriyani yang juga lulusan SMAN 1 Boja.
Pentingnya Guru Mengenalkan Sastra
Ali Akbar Navis merupakan sastrawan kelahiran Sumatera Barat, 17 November 1924 dan wafat pada 22 Maret 2003. Ia dikenal sebagai seorang sastrawan, kritikus budaya, dan politikus Indonesia. Merujuk Wikipedia.org, AA Navis telah menghasilkan 65 karya sastra dalam pelbagai bentuk sejak mulai menulis pada 1950. Karya-karya itu meliputi novel, cerpen, puisi, otobiografi, cerita rakyat, hingga non-fiksi. Karya-karyanya berjumlah sekira 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan Indonesia lain dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah akademis yang dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan.
Pada suatu masa, AA Navis pernah menyatakan kegelisahannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Ia mengatakan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, siswa hanya diberi pengajaran untuk menerima pengetahuan tanpa diberikan kesempatan untuk berpikir secara kritis. Anak-anak tidak diajarkan untuk menulis dengan baik, padahal menulis dapat membuka pikiran mereka.
Dalam pandangan AA Navis, membaca karya sastra dapat membantu orang berpikir kritis dan memahami konsep hidup. Ia mencontohkan, banyak karya sastra di Indonesia yang menceritakan tentang orang-orang munafik. Hal itu seharusnya diajarkan kepada anak-anak agar mereka dapat mengerti bahwa di tengah masyarakat banyak orang munafik. Tetapi, “pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik.”
Menurut Fitri, kritik dan pemikiran-pemikiran AA Navis masih relevan hingga sekarang. Salah satunya, begitu pentingnya generasi muda mempelajari karya sastra. Fitriyani mengatakan, pentingnya meregenerasi pembaca sastra sejak dini. Mulai dari keluarga, masyarakat hingga sekolah. “Guru punya peran besar untuk mengenalkan tulisan bagus (sastra-Red) ke murid-muridnya,” tutur Fitriyani yang juga mengajar di salah satu sekolah swasta terkemuka di Kota Semarang ini.
Dalam kesempatan itu, Fitri mengajak sesama guru untuk memiliki referensi bahan bacaan yang baik dan bermutu bagi para muridnya. Ia melihat masih belum semua guru memiliki budaya membaca yang memadai—apalagi membaca karya sastra.
“Saya melihat ada guru mapel Bahasa Indonesia yang tak suka sastra, apalagi guru mapel lain,” keluh Fitri.
Di hadapan hadirin, Fitriyani, berpesan, siapapun mempunyai peran untuk mengenalkan sastra pada anak-anak atau lingkungan terdekatnya. Ia pun mencontohkan, hari ini, dalam momentum mengenang 100 tahun 3 sastrawan besar ini, masyarakat bisa mulai kenalkan karya-karya mereka pada anak-anak dan lingkungan masing-masing. “Kalau ingin kenalkan sastra mulailah dari lingkungan terkecil,” tandasnya.
Momentum Mengenalkan Pemikiran & Karya Sastrawan
Koordinator Festival Kecil: Tiga Sastrawan Besar, Zakia Maharani, menyampaikan, festival ini digelar sebagai upaya sederhana untuk mengenal sekaligus mengenang kiprah tiga tokoh sastra. Dua asal Indonesia yakni Sitor Situmorang dan AA Navis, serta satu sastrawan terkemuka dunia asal Ceko yakni Franz Kafka. “Kami ingin mengenalkan karya-karya ketiga sastrawan tersebut kepada generasi muda sekaligus merayakan kontribusi mereka dalam dunia literasi,” kata Zakia kepada wartawan.
Zakia menambahkan, tahun 2024, terasa begitu istimewa dan monumental bagi dunia sastra Indonesia. Tahun ini, ada beberapa sastrawan kenamaan di Indonesia yang memasuki masa 100 tahun. Mereka yakni, AA Navis dan Raja Usu Sitor Situmorang atau dikenal sebagai Sitor Situmorang yang lahir 2 Oktober 1924 – 21 Desember 2014.
“Selain dua sastrawan Indonesia, salah satu sastrawan dunia, yakni Franz Kafka juga memasuki usia 100 tahun diitung dari tahun kematiannya (3 Juli 1883-3 Juni 1924). Gaya kepenulisannya yang unik telah dianggap memberi pengaruh besar terhadap kesusastraan Barat Ia dianggap sebagai salah seorang pelopor prosa modern oleh para kritikus sastra,” tutur Zakia yang juga pegiat Teras Baca Baca ini.
Menurut Zakia, momentum peringatan satu abad atau seratus tahun merupakan sesuatu yang monumental. Sehingga, teramat sayang apabila peringatan ini dilewatkan begitu saja. Sehingga, dengan swadaya dan gotong royong antarkomunitas serta pegiat literasi berupaya mewujudkan kegiatan ini.
Peringatan 100 Tahun A.A. Navis sebelumnya juga ditetapkan oleh UNESCO pada akhir tahun 2023. Untuk itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga telah mengadakan serangkaian acara bertajuk “Robohnya Surau Kami dan Bangkitnya Sastra Indonesia.” Serangkaian acara itu diselenggarakan di 30 wilayah Balai dan Kantor Bahasa di seluruh Indonesia, di Jakarta, dan di Paris sepanjang tahun 2024. (her/tim)