Semarang, Idola 92.6 FM – Mayoritas partai-partai politik pada saat ini dianggap tengah merusak diri sendiri karena dinilai serampangan dalam menentukan kriteria seorang kandidat buat diusung dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dilansir dari Kompas.com (11/08/2024), sinyalemen itu muncul dari hasil kajian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini. Dari penelitian CSIS, saat ini tidak ada standarisasi yang jelas dalam pencalonan kepala daerah. Kebijakan partai yang seperti itu dinilai sama saja, tidak memberi pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Selain itu, dengan tidak menerapkan standarisasi dalam memilih, menentukan, dan mengusung seorang kandidat calon kepala daerah, maka perlahan-lahan akan menggerogoti proses demokrasi.
Sebagaimana diketahui, ada potensi munculnya kotak kosong pada Pilkada Jakarta 2024 jika Anies Baswedan gagal maju sebagai calon gubernur mengingat beberapa partai pengusungnya bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
KIM merupakan gabungan partai-partai politik pendukung pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sementara itu, KIM Plus memunculkan nama mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk diusung maju pada Pilkada Jakarta.
Tapi, benarkah Parpol ‘asal comot’ dalam menominasikan Kepala Daerah? Lalu, apa fungsi Parpol buat kehidupan nyata masyarakat? Apakah rakyat dalam sistem demokrasi kita, memng sekedar diperlukan sebagai stempel legitimasi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia), Aditya Perdana, PhD (Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting), dan Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: