Semarang, Idola 92.6 FM – Tiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, salah satu pahlawan bangsa yang mengantarkan kaum Perempuan “dari lorong gelap keterpurukan” atas dominasi tradisi dan budaya patriarki. Warisan penting pemikiran serta gagasan besar Kartini tertuang dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Salah satu contoh pemikiran penting R.A. Kartini, bisa kita lihat dari suratnya yang dikirim kepada sahabatnya, Nyonya Abendanon, pada 21 Januari 1901;
”Dari perempuanlah manusia pertama kali menerima pendidikan…dan makin lama makin jelas bagiku bahwa pendidikan yang pertama kali itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimana ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak berpendidikan..? Bukan untuk perempuan saja, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia, pengajaran kepada anak-anak perempuan akan merupakan rahmat.” (~Buku “Sejarah Perempuan Indonesia” – Cora Vreede-De Stuers).
Jadi inti kegelisahan RA Kartini adalah: bagaimana ibu-ibu dapat mendidik putera-puterinya kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Bukan sekedar soal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Nah, kini ketika ibu-ibu sudah berpendidikan, apakah berarti cita-cita Kartini sudah terwujud? Sudahkah ibu-ibu secara umum memandang bahwa pendidikan yang pertama itu begitu penting dan sangat menentukan?
Jawabannya, mungkin bisa kita lihat dari skor PISA (Programme for International Student Assessment), yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti, Program Penilaian Pelajar International.
Hasilnya, terjadi penurunan tajam kinerja siswa (steep learning loss) selama kurun empat tahun terakhir (2018-2022) pada ketiga disiplin ilmu yang diujikan; matematika, membaca, dan sains. Kondisi ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara khusus PISA didesain untuk mengukur sejauh mana siswa dipersiapkan oleh sistem pendidikan di tiap-tiap negara, dalam mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang mereka pelajari. Konsep ini mendorong ide learning for transfer, yang mendorong para siswa agar tidak hanya menguasai materi pembelajaran untuk tes, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam situasi kehidupan nyata.
Tentu saja, bukan berarti merosotnya Skor PISA kita, karena kesalahan ibu-ibu karena hal itu menjadi tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan. Tetapi mengaitkan peringatan Hari Kartini dengan Skor PISA anak-anak Indonesia, masih jauh lebih relevan, daripada sekadar mendandani anak-anak berkebaya atau sekadar menggaungkan emansipasi dan kesamaan hak perempuan, yang sudah cukup lama telah kita lampaui.
Lalu, bagaimana relevansi peringatan Hari Kartini, selain “meng-entertaint” kebaya dan pakaian daerah? Bagaimana memaknai peringatan Hari Kartini dengan upaya meningkatkan skor PISA?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) dan Prof Euis Sunarti (Guru Besar Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga IPB University). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: