Semarang, Idola 92.6 FM – Ketergantungan Indonesia terhadap bantuan sosial dalam beberapa tahun terakhir ini semakin menguat. Meski angka kemiskinan terus turun pascapandemi, tetapi anggaran bansos justru meningkat bahkan melonjak menjelang pemilu. Ini menandakan bahwa perspektif mengenai bansos perlu diluruskan agar APBN tidak terus-menerus ”tersandera” dan membuat rakyat terlena.
Dilansir Kompas.id (20/06/2024), berdasarkan data Kementerian Keuangan, belanja bansos dalam APBN meningkat cukup signifikan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2019, anggaran bansos masih sekitar Rp97 triliun. Angka itu kemudian meningkat pada puncak pandemi menjadi Rp125 triliunan (2020), dan Rp156 triliun lebih pada 2021. Pada tahun 2022, seiring dengan meredanya pandemic, anggaran bansos sempat turun ke Rp142 triliun. Namun, pada 2023, alokasinya meningkat lagi menjadi Rp143 triliun dan pada 2024 naik menjadi Rp152 triliun.
Padahal, pada saat yang sama, tren tingkat kemiskinan nasional konsisten menurun. Meski sempat menyentuh 10,19 persen pada September 2020 akibat Covid-19, kemiskinan sudah turun ke 9,71 persen pada September 2021, 9,57 persen pada September 2022, dan 9,36 persen pada Maret 2023.
Singkat kata, kalau angka kemiskinan turun, semestinya bansos dikurangi karena yang membutuhkan lebih sedikit. Tetapi, beberapa tahun terakhir ini, bansos justru malah ditambah. Maka, bagaimana cara keluar dari “sandera” bansos dalam mengatasi kemiskinan agar tidak membebani APBN? Selain itu, bagaimana meng-empower masyarakat, bukan malah “meninabobokan” dengan bantuan instan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Peneliti CORE Indonesia, Eliza Mardian. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: