Apa Pentingnya Mengubah Nomenklatur Wantimpres kembali Menjadi Dewan Pertimbangan Agung?

Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (Ilustrasi/Istimewa)
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Rencana pembentukan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) semakin santer bergulir. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengusulkan perubahan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi DPA melalui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Usulan itu ditengarai merupakan salah satu upaya untuk mengubah struktur ketatanegaraan kembali ke masa sebelum amendemen UUD 1945 apalagi jika DPA nantinya ditempatkan sebagai lembaga negara tersendiri di luar kekuasaan pemerintah.

Pada Selasa 9 Juli 2024 lalu, Badan Legislasi DPR sepakat untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Wantimpres dan akan membawanya ke rapat paripurna DPR untuk dimintakan persetujuan menjadi RUU inisiatif DPR. Salah satu usulan perubahan adalah mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA sama seperti sebelum Reformasi 1998.

Langkah parlemen itu mengundang kecurigaan dari sejumlah kalangan, khususnya para pakar hukum tata negara. Sejumlah aturan yang diusulkan dalam revisi UU Wantimpres itu menuai kontroversi karena selain revisi UU Wantimpres tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024 maupun Prolegnas 2020-2024/ substansi aturan yang diusulkan juga dinilai problematik.

Selain perubahan nomenklatur wantimpres menjadi DPA, Baleg DPR juga mengusulkan posisi DPA menjadi lembaga negara. Bukan hanya itu, jumlah anggota DPA juga diusulkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan presiden. Usulan lain, anggota DPA diangkat dan diberhentikan oleh presiden serta larangan anggota DPA rangkap jabatan di pemerintahan dan ormas.

Lalu, menyoroti rencana pembentukan DPA, apa pentingnya mengubah nomenklatur Watimpres kembali menjadi DPA? Apa substansi tujuannya; kalau tak ada substansinya, kenapa harus dirubah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr. Jimmy Usfunan (Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali) dan Luthfi Makhasin, Ph.D (Pengamat Politik/ Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaDedek Setia Budi, Petani Anggrek dan Pemilik Rumah Hijau Tanaman Anggrek dari Kota Batu
Artikel selanjutnyaPresiden Soroti Penyerapan Penggunaan Produk Dalam Negeri yang Hanya 41 Persen