Semarang, Idola 92.6 FM – Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri-Sugiono, menyatakan telah mengajukan lamaran resmi untuk bergabung dalam organisasi kerja sama ekonomi multilateral BRICS Plus seusai turut hadir dalam konferensi tingkat tinggi di Kazan, Rusia, baru-baru ini.
BRICS Plus merupakan organisasi kerja sama dengan arah tujuan mengejar kesejahteraan kawasan selatan dunia (global south) istilah yang merujuk pada negara-negara berkembang yang terkadang disebut sebagai negara dunia ketiga.
Nama BRICS merupakan akronim dari negara anggota di awal organisasi kerja sama terbentuk, yakni Brasil, Rusia, India, China, dan South Afrika. Saat ini, keanggotaan organisasi itu telah mencakup juga Iran, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab (UEA). Setelah dilakukan perluasan keanggotaan, nama organisasi pun berubah menjadi BRICS Plus.
Meski demikian, yang patut menjadi pehatian Pemerintahan Prabowo-Gibran, pemerintahan sebelumnya telah mewariskan proses aksesi keanggotaan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sebuah organisasi kerja sama multilateral yang berporos pada kekuatan ekonomi negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa.
Lalu, di antara dua kutub keanggotaan OECD dan BRICS, apa keuntungan bagi Indonesia kalau bergabung BRICS? Apakah tidak mengaburkan tujuan “Nonaligned” atau Gerakan Non-Blok yang menjadi komitmen kita?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Founder & Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, Ph.D. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: