Semarang, Idola 92.6 FM – Wacana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) mengemuka di era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menunjuk Prof Abdul Muโti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Sebelumnya, di era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknoligi Nadiem Makarim, UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. UN diganti dengan Asesmen Nasional.
Salah satu pihak yang ikut mendukung dihidupkannya kembali UN adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun, PGRI memberi catatan, UN dapat diterapkan kembali tetapi tidak menjadi satu-satunya penentu kejlulusan. Penerapan kembali UN sebagai upaya memperbaiki sumber daya manusia di Indonesia. Sebab, saat ini terjadi hal yang memalukan yakni pelajar Indonesia tidak bisa diterima di tingkat internasional.
PGRI berharap, penerapan UN tidak dilakukan kepada siswa Sekolah Dasar (SD) atau jenjang Dasar. Penerapan UN sebaiknya diterapkan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Lalu, apa baik dan buruknya UN? Haruskah kita mundur lagi dengan kembali menghidupkan UN? Apakah ini berarti keputusan menghilangkan UN di Kabinet sebelumnya tidak menghitung konsekuensi dan risikonya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Dosen dan Ahli Pedagogis Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, M.Pd.ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: