Anggaran Pendidikan Sebesar 20% mMencapai Rp655 triliun, Kenapa Masih Muncul Kesan Komersialisasi Pendidikan?

Komersialisasi Pendidikan
Ilustrasi/Istimewa
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahalnya biaya pendidikan masih menjadi persoalan yang dari tahun ke tahun terus berulang di Indonesia. Baik pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Meski Pemerintah kerap menekankan bahwa biaya sekolah untuk jenjang SD hingga SMA negeri sudah gratis tetapi seringkali orang tua atau wali murid masih dibebani dengan kebutuhan lainnya mulai dari seragam, buku paket, LKS, hingga agenda-agenda yang diselenggarakan sekolah lainnya. Hal itu terkadang belum termasuk ketika pihak sekolah melakukan pungutan tidak resmi kepada para orangtua murid.

Persoalan ini sesungguhnya ironi–mengingat Pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi. Harus diakui, Pemerintah sudah berupaya untuk mendukung pendidikan melalui alokasi 20 persen dari APBN. Namun ternyata, pada praktiknya belum sesuai harapan.

Adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk meringankan beban siswa sekolah dasar dan menengah serta Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang disediakan untuk seluruh jenjang pendidikan, pada kenyataannya juga belum efektif. Bayang bayang biaya mahal masih kerap dikeluhkan oleh orang tua siswa.

Lalu, dengan anggaran 20% dari APBN yang mencapai Rp 655 triliun, kenapa masih muncul kesan adanya Komersialisasi Pendidikan? Apakah ada persoalan di dalam distribusinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Anggota komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaApa Baik-Buruknya Ketika Dua Ormas Terbesar yang Mewakili Mayoritas Populasi Indonesia Menerima “Pemberian” dari Pemerintah untuk Mengelola Tambang?
Artikel selanjutnyaSurip Mawardi, Peneliti dan Pemulia Varietas Kopi Indonesia dari Tapanuli Utara