Semarang, Idola 92.6 FM – Pada tanggal 20 Maret 2024 diperingati sebagai “International Day of Happiness.” Dalam momentum ini, “World Happiness Report 2024” diterbitkan. Dalam laporan itu disajikan perbandingan kebahagiaan antarnegara.
Tercatat, Finlandia menempati peringkat pertama selama tujuh tahun berturut-turut sebagai negara paling bahagia. Sementara Indonesia, menempati peringkat ke-80 dari 143 negara di dunia. Ranking Indonesia ini berada di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang juga masuk dalam cakupan penelitian.
Tahun ini Finlandia mencatatkan skor 7,74. Posisi itu diikuti oleh negara-negara Nordik lainnya seperti Denmark, Islandia, Swedia, dan Norwegia, yang semuanya berada di peringkat 10 besar. Hal ini tidak mengherankan mengingat negara-negara tersebut secara konsisten menempati peringkat atas.
”World Happiness Report 2024” merupakan kerja bersama sejumlah peneliti dan ilmuwan kesejahteraan terkemuka di dunia. Pemeringkatan kebahagiaan dalam penelitian itu didukung oleh data dari Gallup World Poll yang mengukur evaluasi hidup rata-rata individu (individuals average life evaluations) yang diambil selama tiga tahun dari tahun 2021 hingga 2023. Laporan kebahagiaan itu dirilis pada Hari Kebahagiaan International yang diperingati setiap tanggal 20 Maret.
Para ahli yang terlibat dalam penelitian menganalisis data dari enam faktor utama, yaitu produk domestik bruto (PDB) per kapita, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan, kemurahan hati, dan persepsi korupsi. Penelitian terhadap bidang-bidang itu memberikan wawasan yang lebih dalam dan penjelasan mengenai penilaian subyektif seseorang tentang kualitas hidup.
Lalu, apa saja syarat-syarat kebahagiaan dalam indeks kebahagiaan yang belum bisa kita penuhi? Akankah perbaikan syarat-syarat itu akan menjadi tujuan pembangunan Indonesia ke depan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Yanu Endar Prasetyo, PhD (Peneliti di Research Center of Population Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)) dan Bhima Yudistira Adhinegara (Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: