Semarang, Idola 92.6 FM – Laporan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bermunculan sehari setelah mahkamah memutus uji materi syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan itu dinilai sarat konflik kepentingan karena diduga dikeluarkan untuk memuluskan kerabat Anwar yang akan mengikuti pemilihan presiden.
Atas putusan janggal tersebut, masyarakat tidak hanya mendesak MK untuk segera membentuk Majelis Kehormatan tetapi juga melaporkan dugaan pelanggaran etik dalam pengambilan putusan uji materi syarat usia minimal capres dan cawapres.
Mereka menduga ada pelanggaran terhadap Deklarasi Hakim Konstitusi RI tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama)/ khususnya Prinsip Keberpihakan pada poin penerapan kelima. Disebutkan dalam poin tersebut bahwa hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara—apabila hakim atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.
Banyaknya pelaporan pelanggaran etik ini, apakah semakin menunjukkan adanya persoalan etik serius dalam putusan uji materi soal syarat usia minimal capres-cawapres? Lalu, bagaimana mekanisme hukumnya? Siapa yang akan menangani dan menentukan ada tidaknya pelanggaran etik?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni Ahli Hukum Tata Negara/Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: