Semarang, Idola 92.6 FM – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan atau penerimaan gratifikasi, Rabu (22/11) malam. Dugaan pemerasan ini dilakukan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Penetapan tersangka ini menjadi puncak kontroversi yang pernah dilakukan Firli selama menjabat sebagai KPK.
Ironisnya, penetapan tersangka ini terjadi setelah siang harinya, Firli menerima sebuah penghargaan dari Kementerian Keuangan dan malam harinya ditetapkan sebagai tersangka.
Firli selaku Ketua KPK menerima penghargaan Anugerah Reksa Bandha dari Kemenkeu bersama sejumlah instansi negara lainnya pada Rabu (22/11) siang. Anugerah Reksa Bandha merupakan penghargaan terkait pengelolaan dan pemanfaatan barang milik negara. Penghargaan ini diberikan lantaran KPK memasukkan pengelolaan Barang Milik Negara sebagai bagian dari strategi nasional pencegahan korupsi.
Beragam reaksi pun bermunculan usai penetapan tersangka Firli Bahuri. Beberapa di antaranya mendesak agar Firli mengundurkan diri dari KPK. Selain itu, sebanyak 57 mantan pegawai KPK yang disingkirkan lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan pun menyambangi Gedung KPK sebagai respons atas penetapan Firli sebagai tersangka pemerasan. Bahkan, mantan pegawai KPK seperti Novel Baswedan, Harun Al Rasyid, Sujanarko serta Abraham turut menggunduli rambutnya dalam aksi tersebut.
Lalu, ketika Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan menjadi tersangka oleh Kepolisian: bagaimana posisinya di KPK? Mungkinkah kasus Firli ini menjadi “Pintu Masuk” bagi perbaikan KPK?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Zainal Arifin Mochtar (Ketua Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Diky Anandya (Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)), dan Novel Baswedan (Mantan penyidik senior KPK). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: