Semarang, Idola 92.6 FM – Pada tanggal 21 Februari lalu, kita memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati tiap tahun untuk mengkampanyekan pentingnya pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah. Selain itu, adanya perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional merupakan wadah agar orang-orang tahu ada begitu banyak bahasa di dunia dan dibutuhkan upaya lebih untuk melestarikan bahasa tersebut.
Lalu, bagaimana dengan Bahasa Ibu di Indonesia?
Tercatat, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah sehingga menjadi negara dengan bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Namun, dari sekian bahasa daerah tersebut, sebagian mengalami kemunduran, kritis, bahkan terancam punah karena penggunanya menyusut.
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, Endang Aminudin Aziz, semua bahasa ibu di dunia mengalami kemunduran. Hal itu disampaikan dalam taklimat media Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Untuk itu, tahun ini, Pemerintah berencana merevitalisasi sebanyak 59 bahasa daerah di 23 provinsi di Indonesia. Hal itu bertujuan agar puluhan bahasa daerah terhindar dari kepunahan.
Rencananya, revitalisasi akan menyasar anak muda–khususnya siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Upaya akan melibatkan pihak sekolah, pegiat bahasa daerah, dan pemerintah daerah.
Lalu, merefleksi Hari Bahasa Ibu internasional, seberapa mendesak merevitalisasi bahasa daerah di Indonesia? Apa sebenarnya, peran penting bahasa daerah bagi penunjang pendidikan karakter dan SDM generasi muda?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Dr. Syarifuddin, M.Hum (Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBP Jateng)), Prof Ganjar Kurnia (Ketua Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran Bandung), dan Bapak Obing Katubi (Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra-Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: