Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh sejumlah serikat pekerja pada Senin, 2 Oktober 2023.
Hal itu diputuskan dalam sidang pembacaan putusan yang dihadiri 9 hakim konstitusi. Kendati demikian, empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, berselisih pandangan (dissenting opinion).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hokum. Pertama, pemohon mendalilkan bahwa penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR melanggar konstitusi karena dilakukan pada masa sidang keempat padahal perppu itu diteken Presiden Joko Widodo pada masa sidang kedua.
MK menganggap wajar jika DPR butuh waktu lama untuk menetapkan perppu itu menjadi undang-undang sebab Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor. Majelis hakim juga menilai, parlemen tidak buang-buang waktu untuk mereview perppu itu sejak menerima surat presiden.
Kedua, pemohon menilai bahwa penerbitan perppu itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, MK mengamini argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan, bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk diteken.
- Untuk Siapa Omnibus Law Dibuat?
- Bagaimana Merespons Omnibus Law Undang-Undang Ciptaker yang terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan suara publik?
- Membaca Putusan MK yang Menilai UU Cipta Kerja Inkonstitusional secara Bersyarat
- Menyorot Polemik Perppu tentang Cipta Kerja: Apa Urgensinya? Benarkah Ada “Kegentingan yang Memaksa?”
Lalu, apa masalah yang muncul akibat Undang-undang Cipta Kerja? Karena sudah menjadi Undang-Undang, maka bagaimana cara memediasi atau menjembatani dua kepentingan yang saling berbenturan itu?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semrang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: