Semarang, Idola 92.6 FM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) menuai pro dan kontra.
Ketua Forum Rektor Indonesia Mohammad Nasih mengatakan, pihak kampus tidak akan proaktif untuk menyelenggarakan kampanye di kampus. Dia mengatakan, kampus hanya akan bersifat pasif dan memfasilitasi tempat, jika diminta oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
MK, memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Salah satu pihak yang menentang adalah Perhimpunan Pendidikan dan Guru (PPG). P2G khawatir aturan yang memperbolehkan kampanye di fasilitas pendidikan akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan untuk pemilu disebut akan menjadi memori kuat warga sekolah bahwa politik hanya menjadi beban.
Memahami putusan MK yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Di satu sisi, ini bisa menjadi ruang untuk literasi politik. Namun, di sisi lain, kampanye di fasilitas pendidikan akan mengganggu proses belajar dan mengajar.
Lalu, apa plus-minusnya? Bagaimana meminimalisir risiko yang ditimbulkan seperti yang dikhawatirkan pihak-pihak yang menolak?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Fadli Ramadhanil (Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)) dan Iman Zanatul Haeri (Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: