Menyorot Polemik Perppu tentang Cipta Kerja: Apa Urgensinya? Benarkah Ada “Kegentingan yang Memaksa?”

Perppu
Ilustrasi/ISTIMEWA

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo mengambil jalan pintas untuk menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) inkonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu.

Padahal, Pemerintah masih memiliki waktu setahun lagi untuk memperbaiki Undang-Undang tersebut lewat DPR. Namun, langkah perbaikan itu diabaikan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Ciptaker. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker itu otomatis akan menggantikan UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional karena cacat formil dalam penyusunan maupun materiil.

Sontak, sejumlah pihak mengkritik langkah Presiden tersebut. Salah satu alasannya, MK dalam putusan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 meminta pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023 bukan dengan menerbitkan Perppu.

Sebelumnya, Pemerintah resmi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12) lalu. Presiden Jokowi mengklaim, penerbitan aturan ini karena keadaan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Menurutnya, situasi Indonesia yang terlihat normal saat ini sebenarnya masih diliputi ancaman ketidakpastian global. Oleh karena itu, pemerintah mencoba mengantisipasi lewat Perppu untuk memberi kepastian hukum kepada para investor dalam dan luar negeri.

Dalam poin pertimbangan disebutkan 7 alasan penerbitan Perppu. Salah satunya karena ada dinamika global, yaitu kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan. Kondisi ini dinilai telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. Di samping, kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional.

Kita memahami, dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa atau situasi darurat, Presiden berhak menetapkan Perppu sebagai pengganti undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 terkait Perpu ini merupakan ketentuan yang tetap dipertahankan dalam beberapa kali proses amandemen UUD 1945.

Sehingga, bisa dikatakan, konstitusi kita memberikan kelonggaran ketika Indonesia dalam keadaan kegentingan yang memaksa seperti Pandemi, bencana dahsyat, atau perang (di indonesia), presiden bisa mengeluarkan Perppu.

Namun, apakah kegentingan itu benar-benar ada saat ini, sehingga dikeluarkan Perppu Cipta Kerja? Dan, apakah Perang Ukraina bisa disebut sebagai kegentingan memaksa? Atau Apakah dengan perang Ukraina syarat Perppu itu terpenuhi?

Guna memahami duduk perkara polemik penerbitan Perppu Cipta Kerja, seberapa mendesak sebenarnya? Cukup masuk akalkah alasan Pemerintah atas nama krisis ekonomi global yang dipicu Perang Ukraina sebagai kegentingan yang memaksa? Apa implikasi Perppu ini bagi tata perundang-undangan kita, mengingat sebelumnya MK dalam putusannya meminta pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat, bukan dengan menerbitkan Perppu?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Citra Referandum (Pengacara publik dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)), dan Tauhid Ahmad (Direktur Eksekutif INDEF). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News