Semarang, Idola 92.6 FM – Di saat sejumlah negara maju mengurangi ketergantungan dagang dengan China, Indonesia justru semakin bergantung pada negara tersebut. Ada keuntungan sekaligus risiko bagi Indonesia, karena semakin bergantung pada ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Sejak menggulirkan hilirisasi di sektor besi-baja dan nikel, ekspor Indonesia ke China semakin meningkat. Diversifikasi produk ekspor juga makin beragam seiring menguatnya produk olahan berbasis bijih logam.
Dilansir dari Kompas,id (27/11/2023), China in the World mencatat, tingkat pengaruh China terhadap Indonesia cukup tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-16 dari 82 negara. Sejumlah sektor di Indonesia yang paling terpengaruh China adalah kebijakan luar negeri dengan indeks 41 persen, teknologi (40,38 persen), kebijakan dalam negeri (37,2 persen), dan ekonomi (33,6 persen).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, proporsi nilai ekspor Indonesia ke China pada 2012 sebesar 11 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Hingga Juli 2023, proporsi nilai ekspor itu meningkat menjadi 24 persen.
Nilai ekspor besi-baja RI ke China terus meningkat sejak 2016 hingga Juli 2023. Begitu juga dengan nilai ekspor nikel dan produk turunannya—yang mulai tumbuh pada 2022 hingga Juli 2023.
Lalu, ketika RI makin bergantung pada China: apa downside dan upside-nya? Adakah risiko yang perlu kita antisipasi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Mohammad Faisal (Direktur Eksekutif CORE Indonesia) dan Adhi S Lukman (Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: