Semarang, Idola 92.6 FM – Program Merdeka Belajar didesain oleh Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan murid serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. Namun, dalam praktiknya, belum semua pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah memahaminya secara utuh.
Bahkan, baru-baru ini, menjadi sorotan publik, kebijakan masuk sekolah lebih pagi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka mengujicobakan jam masuk sekolah siswa SMA/SMK sederajat, mulai pukul 05.30 WITA. Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berargumen, dengan sekolah lebih pagi, harapannya etos belajar anak akan meningkat. Prestasi anak juga diharapkan semakin baik sehingga mereka bisa diterima di perguruan tinggi ternama.
Selain itu, dua SMAN atau SMKN di NTT bisa masuk jajaran 200 besar sekolah terbaik di Indonesia. Pembentukan karakter dengan mewajibkan siswa masuk sekolah lebih pagi diyakini akan memicu keberhasilan pencapaian target tersebut.
Maka, apakah secara nature, masuk sekolah lebih pagi, bagus dan cocok untuk kondisi pikiran para murid dalam mencerna pembelajaran? Benarkah dengan sekolah lebih pagi ekuivalen dengan etos belajar, kedisiplinan, dan prestasi para siswa? Jika merujuk pada negara dengan kualitas pendidikan terbaik dunia seperti Finlandia—bukankah justru mereka menerapkan jam masuk sekolah lebih siang?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sekaligus pengamat kebijakan pendidikan, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D (Ahli Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), dan Yuli Kurniawati Sugiyo Pranoto, S.Psi., M.A., D.Sc. (Lektor Kepala (Ketua Program Studi S2) FIP-Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini) Universitas Negeri Semarang (UNNES)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: